Satu masa mengingatkanku padamu
Satu musim anganku mengembara mencarimu
Satu bulan ragaku tak henti melenguh
Satu pekan mencoba memahami sikapmu
Satu hari tetap berusaha runtuhkan angkuh hatimu
Satu menit akan kusediakan waktu menggapai senyummu
Satu detik terlalu berlebihan kalau kubilang aku makin tak mengerti dirimu

Kau selalu penuh gejolak

Aku berdiri disampingmu untuk menjaganya tidak tumpah
Kau kehilangan arah
Aku coba tunjukkan kemana langkah harus menapak
Kau galau dalam masalah
Aku berikan sentuhan tuk hangatkan nurani
Kau kabarkan musibah sedang menghampiri
Aku bergegas mendekat tuk sediakan yang kau butuhkan
Kau menatapku berbinar
Aku memberikanmu pelukan bahagia
Kau pegang tanganku penuh makna
Aku merengkuhmu agar bisa merasakan denyutnya
Kau tunjukkan rona tersipu
Aku membelai lembut pendar itu
Kau berujar bahwa tak ada yang sanggup mengalahkan ketampananmu
Aku menyimpannya dalam bilik di sudut ruangan hati

Aku sediakan waktu untuk pahamimu

Walaupun baru sesaat ku mengenalmu
Aku selalu ada untukmu
Walaupun kau datang hanya saat membutuhkanku
Aku hadir dalam tiap langkahmu
Walaupun kau beranjak menjauh saat aku inginkan saranmu
Aku punya jutaan pelukan untuk berbagi denganmu
Walaupun kau tak sisakan satu dekapan untuk tenangkanku
Aku tak pernah meminta lebih padamu
Walaupun hati ini berharap kau sejenak melongok rapuhku

Aku peduli padamu

Ya, aku peduli padamu hanya sebagai seorang teman.
Tak lebih tak kurang
Tapi kalau kau tak suka dan menginginkanku tuk menjauh
Aku tak akan beranjak dari tempatku
Jika kau ingin menyeret langkahmu pergi dariku
Aku tetap di tempatku
Jika suatu hari kau mencariku untuk kembali berbagi
Kau tak akan merasa lelah temukanku
Karena aku tak pernah pergi dari sini
Selalu ada untukmu
Jika kau ijinkan aku untuk ucapkan satu pinta
Jangan pernah tutup pintu
Agar aku selalu bisa peduli padamu

-Jakarta, 8 Juni 2009-


Kamu kok lama ya datangnya
Sampai hatiku kesemutan menunggu
Aku juga sih yang salah
Tidak bertanya bagaimana dirimu sebenarnya
Diapun tidak memberitahu secara gamblang tentang dirimu
Dimana harus menunggu aku juga ga tau pasti alamatnya
Dia hanya meyakinkan untuk menunggu dan mencari
Sampailah aku disini
Menunggu sambil celingukan ga jelas mencarimu
Melihat beraneka rupa manusia yang bersliweran didepanku
Beberapa dari mereka ada yang menyapa ramah
Bahkan ada yang berhenti untuk berbincang
Ada yang lama sampai kami bisa menangis dan tertawa bersama
Ada yang hanya berbagi tawa
Ada juga yang hanya sebut nama saja
Lalu mereka beranjak pergi
Manusia yang aneh, aku merutuk
Atau aku yang aneh ya
Ya sudahlah
Lho, kok beberapa dari mereka ada yang kembali kesini
Menawarkan untuk menemaniku kembali
Bahkan ada yang mengajakku pergi dari tempat ini
Aku merasa tak nyaman bahkan ketakutan
Aku tinggalkan saja mereka dan mencoba untuk melangkah mencarimu

Ternyata lebih menyenangkan berjalan – jalan seperti ini ya

Melangkah ringan dan riang sambil bersenandung kecil
Lebih banyak macam – macam manusia yang kutemui sekarang
Bervariasi rupa, usia dan watak
Mereka berusaha untuk mensejajarkan langkah denganku
Dengan senang hati aku bersedia ditemani
Tapi ada yang aneh
Ditengah perjalanan sesuatu mulai terjadi
Tiba – tiba aku yang memutuskan untuk berbelok arah
Atau kalian yang tidak berucap sepatah katapun meninggalkan aku untuk berjalan sendirian
Atau justru kita berdua yang saling mengucapkan kata pisah
Aku hanya bisa tersenyum
Hei, sepertinya aku melihatmu disana
Aku berlari kecil kearahmu
Wow, kamu tersenyum padaku
Aku semakin yakin kalau kamu yang kucari
Kita saling menyebutkan nama dan melangkah bersama
Indah sekali ya berjalan beriringan seperti ini
Bahkan sesekali bergandengan tangan
Rona gembira dan pancaran bahagia jelas terlihat dari raut kita
Aku berputar, sesekali menari atau hanya sekedar menyapa beberapa orang yang kita temui
Kaupun berlaku yang sama
Uppss, aku tiba – tiba terjatuh
Tak melihat ada bongkahan batu didepanku
Aku mengedarkan pandangan mencarimu
Berusaha meminta pertolongan untuk berdiri
Lho, kok kamu ga ada
Kamu pergi kemana
Ada yang terasa nyeri
Aku ga ngerti bagian tubuh mana
Bersusah payah aku berdiri dan tertatih menapak untuk melanjutkan perjalanan
Aku melupakan sesuatu
Ketika aku menemukanmu, aku lupa bertanya padaNya apakah benar kamu yang kucari
Terlalu yakin sampai aku terjungkal sendiri

Aku kembali melangkah

Kali ini dengan ritme yang lebih teratur
Tidak lagi terfokus untuk mencarimu
Dulu aku melewatkan banyak hal yang indah
Sekarang aku tak mau kehilangan sejengkalpun
Hohoho, aku melihat sepasang manusia menghampiriku
Sepertinya aku mengenali mereka
Wajah mereka nampak cemas
Mencoba bertanya apakah aku sudah menemukanmu
Tenang saja, aku akan menyudahi perjalanan ini jika aku sudah yakin akan keberadaanmu
Jangan takut oleh waktu yang merambat, itu yang kucoba yakinkan
Walaupun tidak puas dengan jawabanku dan mencoba untuk mendebat, mereka tetap memberikanku senyuman
Kutinggalkan mereka menuju satu tempat yang menarik perhatianku
Tempat yang gulita
Kok sepertinya aku melihatmu disana ya
Tapi kenapa kau ada ditempat yang gulita seperti ini
Hah, ya sudahlah. Ga terlalu penting juga jawabanmu
Selama aku bisa menemukanmu, dimana saja tak akan jadi masalah
Sekarang bagaimana caranya agar aku bisa menembus pekat ini
Aku membutuhkan cahaya
AHA, aku mendapatkan pencerahan

Kalau kau tak bisa menuntunku untuk menemukanmu

Kenapa aku tidak berusaha memberikan tanda padamu untuk menemukanku
Hihihi...bodohnya aku selama ini
Berpikir hanya aku yang berjuang mencarimu
Padahal kau pun mati – matian berusaha menemukanku

Kalau begitu

Tunggu ya, jangan beranjak dulu
aku akan menyalakan cahaya ini
Supaya kamu bisa melihatku berdiri disini
Dan akupun bisa melihatmu tegak disana

Hmmm, indahnya perjalanan ini

-Jakarta, 12 Juni 2009-



Sebulan lalu, tepatnya 29 maret 2010, saya merubah penampilan saya. Tertutup karena sudah memakai Jilbab. Alhamdulillah, saya akhirnya bisa berdamai dengan ini semua. Keputusan yang tiba – tiba dan agak gila.  Dulu saya berpikir bahwa ada 2 hal gila dan tidak masuk di akal saya apabila seseorang  melakukannya. Pertama adalah orang yang memutuskan untuk berjilbab dan yang kedua adalah orang yang memutuskan untuk menikah. Dua hal tersebut adalah sebuah komitmen seumur hidup antara diri sendiri dan Tuhan. Pihak kedua, ketiga dan seterusnya cuma sebagai pelengkap saja. Oke, dulu saya berpikir suatu saat akan berjilbab. Nanti, ketika saya sudah menikah, mempunyai anak dan raut muka sudah tak terlalu sedap lagi untuk dipandang. Intinya ketika diri ini sudah tidak memungkinkan lagi untuk pamer badan.
Entah kenapa disuatu malam saya terbersit untuk berjilbab. Lebih tepatnya sekitar 3 minggu sebelum hari ulang tahun saya, hari pertama saya memakai jilbab secara resmi. Malam itu mungkin hati saya tergerak untuk hening, menepi sejenak dari hiruk pikuk nafsu dunia. Jiwa saya penat saat itu. Sangat lelah sehingga saya merasa seperti melakukan meditasi, hal yang selama ini tidak bisa saya lakukan. Setelah mandi, saya membaringkan badan disudut kamar kos dan mulai membaca buku yang berjudul Hafalan Sholat Delisa. Buku yang sangat inspiratif. Tidak sampai satu jam saya letakkan buku tersebut karena saya mulai mengantuk. Saya memejamkan mata dan berharap bisa segera tertidur. Ternyata saya salah. Mata memang terpejam tetapi saya seperti sedang disuguhkan suatu film yang berceritakan perjalan hidup saya. Saya bisa melihat dengan jelas betapa saya sudah terlalu jauh melenceng dari “jalur”.  Satu persatu jejak kehidupan saya diputar kembali. Semuanya secara berurutan. Segala macam tingkah polah yang kalau saya mengingatnya sekarang rasanya malu sekali. Hampir satu jam saya terpejam dan melihat itu semua di mata batin saya. Ketika saya membuka mata, saya tak kuasa untuk membendung air mata yang bercucuran keluar. Serasa saya sudah menahan bendungan itu berpuluh tahun. Pertahanan saya akhirnya runtuh. Semua kesombongan, iri, dengki, riya’ dan semua nafsu dunia saya sama sekali tidak mempunyai arti malam itu. Mungkin hampir selama 2 jam saya menangis tiada henti. Setelah saya bisa mengendalikan diri, saya bersujud, mencoba berbicara padaNya dengan terpatah – patah. Berusaha untuk menjalin kembali komunikasi ala kadarnya yang selama ini saya lakukan. Saya meminta maaf atas segala perbuatan yang telah saya lakukan dan sering menyakitiNya.
Selama ini saya selalu mepertanyakan banyak hal. Memperdebatkan semua yang tidak masuk diakal saya. Ajaran yang menurut saya aneh. Tetapi karena Dia tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan saya, akhirnya saya membangkang. Menjadi pribadi yang sombong. Merasa saya telah bekerja keras atas semua ini. Jadi memang selayaknya saya mendapatkan apa yang saya inginkan. Saya lupa bahwa Tuhan mempunyai kuasa penuh atas segalanya. Saya masih mengerjakan semua kewajiban. Saya tidak pernah lalai sholat 5 waktu, berusaha untuk puasa sunnah dan melakukan ibadah lainnya. Tetapi semua saya lakukan tanpa jiwa. Serasa hanya menunaikan kewajiban saja. Tidak ada kedekatan khusus yang saya rasakan. Saya juga sering bersyukur atas semua kenikmatan ini. Tapi syukur yang ala kadarnya. Tidak mempunyai bobot sama sekali. Jiwa saya kering, karena saya merasa bahwa Tuhan hanya melihat saya dari kejauhan, tidak menolong ketika saya tersungkur. Membiarkan saya berusaha sendiri untuk bangkit. Jadi, sebenarnya apa fungsi Tuhan di hidup saya. Itulah saya, jiwa yang menggugat. Yang bergerak kesana  kemari dengan kegelisahan tetapi berusaha menutupi dengan geliat kehidupan yang membaur menjadi nafsu tak terkendali. Ppfiuuhh, mengingatnya saat ini saya seperti tidak sanggup untuk mengulangnya. Penat, kelebihan beban dan tak tahu harus menaruh beban ini dimana.
Setelah saya mengingat beberapa hal, sebenarnya Tuhan tidak pernah benar – benar meninggalkan saya. Dia selalu ada kapanpun saya perlukan, kapanpun saya inginkan. PertolonganNya tak pernah jauh dari saya. Saya ingat betul kejadian di Bali. Ada kejadian memalukan yang sudah saya lakukan disana. Kalau Dia mau, sebenarnya bisa saja nyawa saya diambil ditempat itu. Tetapi Dia tidak melakukanNya. Oh Tuhan, betapa saya sudah terlalu sering berkhianat padaMu. Tetapi Engkau seolah tak pernah lelah untuk selalu menolong hamba keluar dari kungkungan setan. Maafkan hamba yang selalu ingkar akan kebesaranMu. Maafkan hamba karena telah menodai kepercayaanMu. Maafkan hamba karena segala macam laku yang tak layak untuk Kau maafkan.
Pada malam itu saya seperti diberikan kesempatan untuk lahir kembali. Diberikan kesempatan berdamai dengan keadaan. Berdamai dengan jiwa. Yang perlu saya lakukan adalah saya harus memaafkan diri saya sendiri karena untuk beberapa menit saya merasa jijik dan benci dengan jiwa yang terperangkap dalam tubuh ini. Merasa jiwa saya ini kotor sekali, tak layak untuk mendapatkan pengampunan. Tetapi beberapa menit kemudian saya segera menyadari bahwa saya tidak boleh berlarut – larut dalam keadaan .Saya harus segera bangkit. Menyelesaikan yang tersisa. Saya bersyukur tiada terperi kepada Sang Maha Pencipta atas segala kemurahanNya untuk mengingatkan saya disaat saya hampir terjungkal kedalam jurang kesesatan. Akhirnya saya memutuskan, saya akan berjilbab. Jilbab ini adalah wujud syukur saya atas semua peringatanNya. Bersyukur karena Dia masih sayang kepada saya. Bersyukur karena dia masih memberikan kesempatan kepada saya untuk lahir kembali. Bersyukur atas segala yang tidak pernah saya syukuri selama ini. Ini bentuk ketaatan saya padaNya. Saya tahu bahwa berjilbab adalah suatu kewajiban karena sudah tercantum di Al-Qur’an. Tetapi kalau saya boleh jujur, saya berjilbab bukan karena ingin memenuhi kewajiban yang sudah termaktub. Tulus ini adalah bentuk syukur yang tiada tara dan awal yang telah saya tetapkan agar saya bisa semakin dekat denganNya. Saya ingin memulai sebuah hubungan yang ikhlas, tulus, damai. Saya ingin memulai hubungan yang tanpa syarat tanpa harus menghitung untung dan rugi. Saya ingin memulai semuanya tanpa berharap ada balas imbalan dariNya. Saya ingin semuanya berjalan dalam keadaan hening, sunyi dan saya bisa merasakan sentuhan kasih sayangNya dalam setiap obrolan saya denganNya. Saya ingin semuanya indah. Saya ingin jiwa ini tersembuhkan dan saya sendiri yang wajib menyembuhkannya.
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jika nyawa ini sudah diambil tanpa saya berkesempatan untuk memperbaiki semuanya. Belum menyelesaikan yang tertunda, yaitu meminta maaf dan membuang segala macam congkak hati yang saya miliki. Rasanya saya tidak akan ikhlas untuk memenuhi panggilanNya karena merasa masih ada yang tertinggal. Mengingat kembali ini semua membuat hati ini sesak. Semuanya sudah berlalu. Semuanya sudah usai. Saya sudah lahir kembali bersama jiwa yang berusaha untuk menutup luka lama. Saya membutuhkan waktu. Tetapi ini tidaklah menghalangi saya untuk semakin cinta padaNya
Disinilah saya sekarang, seperti orang sedang jatuh cinta. Cinta kepadaNya. Setiap saat saya rasanya ingin selalu dekat denganNya. Selalu menangis jika mendengar ayat – ayat yang terlantun. Selalu bergetar jika mendengar siapapun menyebut namaNya. Subhanallah, kenikmatan ini tiada tara.  Serasa setiap saat ingin selalu bercakap – cakap denganNya. Alhamdulillah, saya sudah bisa melewati semuanya. Langkah saya semakin ringan sekarang. Bersyukur selalu atas segala amanah yang Allah selalu berikan setiap saat. Ya Tuhan, hamba mohon janganlah kau ambil nikmat yang tiada tara ini. Hamba dahaga akan kasihMu. Hamba ingin selalu mempersembahkan yang terbaik padaMu. Tolong jangan pernah tinggalkan hamba walaupun sejenak karena hamba tak akan pernah sanggup hidup tanpa diriMu.

Perjalanan ini belumlah usai. Perjalanan ini baru dimulai. Saya tidak akan pernah merubah tanya yang selama ini bergelantungan di kepala menjadi sebuah titik. Saya hanya perlu lebih mengenalNya tanpa harus menjeratNya kedalam sebuah kotak. Kenapa selama ini saya lebih suka memanggilNya dengan Tuhan daripada Allah, karena yang saya yakini Dia hanya satu tetapi kita memanggilnya dengan sebutan yang berbeda. Pernyataan ini mungkin untuk sebagian orang adalah absurd. Tapi tak apalah, saya juga juga tidak pernah mau untuk menyamakan pendapat. Saya tidak mau seragam kalau perbedaan membuat indah dan memperkaya segalanya. Saya tidak mau hidup dalam batasan baik-buruk, suci-dosa, hitam-putih, kanan-kiri  karena hidup kaya akan rasa. Saya tidak harus menjadi pribadi yang "baik - baik saja" kalau memang kenyataannya saya sedang tidak baik. Pencarian ini bukan tanpa rintangan tapi tidak akan membuat saya berhenti untuk mencintaiNya dengan cara saya. Sederhana dan bersahaja.
Dan saya sekarang mampu tersenyum dalam jiwa yang damai. Bersyukur dalam ikhlasnya keheningan. Terima Kasih Tuhan untuk semua keindahan dalam perjalanan ini. Terima Kasih Alam karena sudah mendampingi saya untuk menemukan kembali apa artinya sunyi. Terima kasih karena sudah membuat saya jatuh cinta kembali padaMu dengan cinta yang tak bersyarat

PS : setelah saya sukses melakukan kegilaan yang pertama yaitu berkomitmen sehidup semati dengan jilbab, sekarang saya sedang menunggu saat yang tepat untuk melakukan kegilaan yang kedua dan yang terakhir yaitu berkomitmen sehidup semati dengan calon suami saya dalam ikatan pernikahan. Doakan saja waktunya tak akan lama lagi ya ^__^. Yippiiieeee…..
 -Jakarta, 28 April 2010-


                Bersyukur, perbuatan yang sebenarnya mudah untuk dilakukan. Menurut pengertian saya, syukur berarti terima kasih. Bersyukur berarti mengucapkan terima kasih. Syukur tidak semerta diucapkan hanya untuk Tuhan, walaupun ujung – ujungnya keterlibatan Tuhan tidak dapat ditiadakan. Contoh kecilnya nih, dompet kita jatuh, ditemukan orang dan pada akhirnya diantarkan kepada kita. Nah, kita pasti akan bersyukur karena orang tersebut sudah menemukan dan bersusah payah untuk mengantarkan. Kita melakukan dua syukur disini. Bersyukur pada orang yang telah menemukan dan bersyukur kepada Tuhan karena telah menyelamatkan benda kita lewat orang tadi. Dari analog sederhana tersebut, memang tidak dapat dipungkiri bahwa kegiatan bersyukur selalu bermuara dan berujung kepada Tuhan. Tetapi kali ini saya tidak akan berbicara panjang lebar tentang konsep syukur ataupun konsep ke Tuhan an itu sendiri. Saya agak tergelitik untuk menyikapi tentang cara ataupun tujuan saya bersyukur, sebagai cermin untuk diri sendiri. Mudah – mudahan bisa menjadi inspirasi untuk yang membaca.
                Setiap detak kehidupan yang telah dan akan kita lalui tidak bisa dilepaskan dari aktivitas bersyukur. Sejak bangun di pagi hari seharusnya kita mulai dengan bersyukur. Untuk umat Muslim, syukur bisa dilakukan dengan sholat Shubuh. Untuk umat beragama lain bisa dilakukan dengan berdo’a mengucap syukur karena masih dipercaya 1 hari lagi untuk melakukan kebaikan. Nah, dengan mengucap syukur dalam mengawali hari, kita lebih fokus untuk berkegiatan hari itu. Karena kita yakin bahwa apa yang akan kita lakukan semuanya adalah ibadah, menjadikan kita umat yang lebih bermanfaat bagi diri sendiri maupun untuk sekitar kita. Saya yakin kita semua tidak usah diajari lagi bagaimana cara untuk bersyukur. Seberapa beratpun hari yang telah kita lalui, syukur tetap akan kita ucapkan sebagai bentuk penghargaan kepada Tuhan atas kehidupan dan segala nikmat yang Tuhan sudah titipkan. Permasalahannya adalah, apakah benar syukur kita tersebut tulus adanya?
                Beribadah adalah salah satu wujud syukur kita pada Sang Pencipta. Beribadah disini bisa berwujud macam – macam. Sholat, berpuasa, pergi ke Gereja, sembahyang di Vihara, melaksanakan semua kewajiban dan menjauhi laranganNya dan lain sebagainya. Apakah ketika kita beribadah hanya untuk sekedar melaksanakan kewajiban dan berharap reward dariNya? Apakah ketika kita beribadah kita mempunyai pamrih atas apa yang telah kita lakukan? Apakah ketika kita melakukan apa yang telah diperintahkanNya kita berpikiran jauh ke depan ke sesuatu yang kita sendiri belum tahu tentang keberadaannya?. Baiklah, saya akan membahasnya satu persatu supaya kita semua tidak terjebak dengan pertanyaan – pertanyaan ambigu dan semu.
Pada umumnya, ketika kita beribadah, kita akan mengharapkan sesuatu di kemudian nanti. Ketika kita berdo’a kita akan berpikiran tentang surga dan neraka. Kita akan akan menghayalkan tentang pahala. Kita akan menghitung setiap kebaikan yang telah kita lakukan dan mulai melakukan perhitungan dengan Tuhan tentang semua kebaikan yang telah diberikan. Ujung – ujungnya pahala dan surga neraka lagi. Atau contoh lainnya dalam agama saya, seringkali saya jumpai buku – buku tuntunan sholat sunnah yang mencantumkan keistimewaan ketika kita melakukan sholat sunnah A atau B atau C dan seterusnya. Kesannya kita seperti diberikan iming – iming dahulu agar melakukan sholat sunnah tersebut. Saya bukannya ingin menggugat konsep tersebut. Saya pun sadar bahwa salasan yang sebenarnya adalah ingin memberikan penjelasan kepada orang yang ingin belajar agama. Tetapi cukuplah disebutkan tujuan dari sholat tersebut. Tidak usah dibahas terlalu panjang lebar. Contohnya, Sholat sunnah Istikharah  untuk menentukan pilihan yang terbaik menurut Allah. Sudah itu aja, jangan diberikan lagi keterangan tentang keistimewaan A, B atau C. Jatuhnya nanti malah tidak ikhlas dalam berdo’a. balik lagi ke pahala dan surga neraka. Ibaratnya begini. Kita adalah pegawai kantoran yang mempunyai bos. Kita yang sekarang adalah pegawainya. Dunia ini adalah kantor kita, sedangkan Tuhan adalah Bos kita. Nah, sebagai karyawan, tentu kita akan bekerja semaksimal mungkin agar kita menyelesaikan tugas dengan baik dan maksimal. Tuhan sebagai bos akan menilai apa yang sudah kita kerjakan. Kalau misalkan bagus, ya akan diberikan reward. Sedangkan jika biasa saja, ya tidak mendapat apa – apa. Penilaianpun juga sesuai yang bersangkutan. Kita tidak pernah tahu kriterianya. Jadi yang mempunyai otoritas penuh untuk memberikan bonus (Pahala) adalah bos kita (Tuhan).  Bandingkan jika kita bekerja hanya akan berharap bonus tetapi pada akhirnya yang kita harapkan tidak sesuai kenyataan. Kecewa kan karena kita melakukan sesuatu mengharapkan imbalannya. Beda jika kita mengerjakan apa yang sudah menjadi tugas kita dengan tulus, ikhlas, memaksimalkan proses dan menyerahkan hasilnya pada atasan. Tidak berpikiran jauh tentang bonus dan sebagainya. Kalaupun nantinya kita mendapatkan imbalan, kita anggap itu sebagai bonus. Cara berpikir yang seperti itu akan lebih membuat nyaman kita dalam beribadah. Tidak terbebani oleh sesuatu yang kita susah menjangkaunya.
Begitu juga tentang Surga Neraka. Saya tidak tahu ya harus percaya atau tidak tentang Surga dan Neraka. Saya tidak mau mengingkari bahwa di dalam Al-Qur’an banyak digambarkan tentang kondisi Surga dan Neraka. Masalahnya saya belum pernah pergi ke 2 tempat tersebut. Jadi bagaimana saya bisa tahu ada dan tidaknya 2 tempat tersebut. Ini bukan masalah percaya atau tidak percaya dengan kitab suci. Ini hanyalah masalah logika saya. Jadi menurut hemat saya, tidak usah muluklah ketika kita beribadah untuk mengharapkan surga dan neraka. Terlalu jauh itu. Surga dan Neraka (kalaupun ada) juga merupakan bonus untuk segala bentuk syukur yang telah kita lakukan. Tidak usah diharapkan terlalu banyak. Bentuknya saja belum nyata. Kecuali kalau ada yang sudah berkunjung kesana, tolong ceritakan ke saya. Supaya saya bisa mengangankan seperti apa tempat itu. Nah, kalau misalkan Surga, Neraka atau pahala itu tidak ada, apa iya kita masih mau sujud berdoa dan bersyukur padaNya?. Saya kadang suka sedih jika melihat ada anak yang diajarkan tentang konsep surga dan neraka sejak kecil. Seperti di doktrin saja. Seperti diberikan sebuah gambaran yang menakutkan atau menggembirakan yang terlalu jauh untuk dijangkau. Kalaupun ingin memberikan contoh, ambil keteladanan yang terdekat saja. Misalkan “kalau adek sholat, artinya adek sedang bersyukur, berterimakasih kepada Allah untuk semua kenikmatan yang Allah sudah berikan, misalkan makanan, udara, mama papa dsb”. Bandingkan jika kita berucap “kalau adek sholat, adek nanti akan masuk surga. Kalau tidak sholat nanti adek akan masuk neraka”. Kesannya kita sudah memberikan konsep yang menakutkan tentang ibadah Sholat. Padahal ketika kita Sholat, kita akan merasakan kenikmatan yang tiada tara, untuk bersyukur dan berkomunikasi dengan Allah. Bahwa Sholat itu indah. Bahwa beribadah itu adalah hal  yang menyenangkan.
Ini juga merupakan cermin untuk saya. Belajar untuk bersyukur secara tulus. Tuhan juga tau mana yang baik untuk umatNya. Toh Dia juga tidak pernah tidur. Tanpa kita minta dan harap pun Dia akan memberi apa yang akan menjadi hak kita. Ga usahlah berharap terlalu jauh tentang pahala, surga dan neraka. Akan lebih mudah buat kita bersyukur atas segala nikmat yang Tuhan sudah berikan di tiap detik kehidupan kita tanpa adanya keinginan untuk mendapatkan bonus dibelakangnya. Bersyukur hari ini kita masih diberikan kehidupan. Bersyukur kita masih bisa menatap anak dan suami/istri (bagi yang sudah berkeluarga), bersyukur masih diberikan kesempatan menata diri sebelum bertemu jodoh kita (bagi yang masih lajang seperti saya), bersyukur atas kesehatan orang tua kita, bersyukur atas pekerjaan yang Tuhan masih amanahkan walaupun tiap hari ada saja konflik yang terjadi, bersyukur atas bumi yang kita pijak dengan cara merawatnya (tidak membuang sampah sembarangan, menjaga hutan, mengurangi konsumsi plastik dan masih banyak cara bersahaja lainnya untuk tetap membuat bumi kita senantiasa bernafas), bersyukur atas teman – teman yang selalu ada disekeliling kita, bersyukur karena keadaan kita lebih baik dibandingkan beberapa orang yang berkekurangan (dimana kita diingatkan untuk membantu mereka), bersyukur atas segala keindahan yang Tuhan telah ciptakan.Bersyukur tidak hanya dalam konteks kebahagiaan saja. Bersyukur juga tetap kita panjatkan untuk segala cobaan  dan ujian yang diberikan kepada kita. Itu artinya Tuhan masih percaya bahwa kita mampu melewati dan menyelesaikannya. Anggap saja sebagai kenikmatan dalam bentuk yang lain. Kalau hidup datar saja kan kurang ada warnanya.  Jika kita dengan bijak memandang segala sesuatunya dan bisa bersyukur dengan ikhlas, sebenarnya tidak ada alasan buat kita untuk mengeluh. Tuhan telah menciptkan kita semua dengan tujuan baik. Kita lah yang sering membuat kerusakan yang membuat kita juga lupa untuk beryukur atas apa yang telah diamanahkanNya.
Marilah kita mulai hidup kita hari ini dengan bersyukur secara tulus dan ikhlas.
-Jakarta, 28 April 2010 dini hari-



Permisi, Tuhan ada?
Oh, sedang tidak ada ditempat
Lama ga baliknya
Wah, kurang tau pastinya
Uhhhmmm, kalau begitu boleh ga saya tunggu disini
Kalau boleh tau ada urusan apa ya mau ketemu Tuhan
Ga terlalu penting kok. Saya kangen dengan Tuhan. Sudah lama saya tidak mengunjungiNya
Jadi kamu pengen ketemu Tuhan kalau kangen saja
Seringnya sih iya
Dan kamu bilang kalau itu bukan hal yang penting
Saya merasanya seperti itu. Seperti rutinitas biasa. Kayak setor muka gitu. Tidak ada yang spesial
Dan kali ini kamu tetap akan melakukan rutinitas itu
Iya ditambah lagi saya ingin ngobrol dengan Tuhan
Apa yang ingin kamu bicarakan
Ya kegiatan Tuhan selama ini. Saya kok ngerasa Dia pergi terlalu lama. Ada yang kosong dalam jiwa saya. Saya ingin tahu Tuhan pergi kemana
Sudah kamu cari kemana saja
Belom saya cari kemana - mana. Saya ngerasa Dia ga pergi terlalu jauh, sekitar sini saja
Bagaimana kamu bisa menemukan Tuhan kalau kamu tidak mencariNya
Saya tidak mau memaksa Tuhan untuk kembali cepat - cepat. Suka - suka Dia saja. yang paling penting adalah jangan sampai Tuhan meninggalkan saya
Kamu benar - benar merasa Tuhan pergi ya
Kalau misalkan Dia tidak pergi, kemana donk Dia sekarang
Apakah kamu mengenali Tuhan itu seperti apa
Tidak terlalu yakin sih
Jadi tau darimana kamu kalau Tuhan itu pergi. siapa tahu Tuhan tidak kemana - mana. Hanya karena tidak mengenali Tuhan, kamu lalu mengatakannya pergi
Mungkin juga sih. Saya tidak terlalu akrab dengan Tuhan. Saya mungkin terlalu banyak permintaan sampai saya lupa mengajak berkenalan
Apakah kamu sering pergi meninggalkan Tuhan dalam waktu yang lama
Sering sekali. Tak terhitung jumlahnya. Tak bisa dipastikan lamanya
Alasannya apa
Ga ada alasan khusus
Apa kamu berpikir Tuhan melakukan hal yang sama
Tidak. Tuhan pasti punya alasan yang lebih kuat.. Eh, kamu siapa sih dari tadi kok nanya – nanya mulu
Saya bukan siapa – siapa. Saya cuma pengen bilang, kalau kamu membutuhkan sesuatu atau ingin berbagi sesuatu, kamu boleh datang pada saya. Saya tidak akan pergi kemana – mana kok dan saya ga pernah pergi meninggalkanmu. Dan yang paling penting kalau kamu mau pergi dari saya, jangan jauh – jauh dan jangan terlalu lama ya. Nanti kamu tersesat. Kamu akan selalu menemukan saya dalam setiap kebaikan yang kamu lakukan. Gampang kan caranya mencari saya.

Loh, kamu Tuhan ya?

-Jakarta, 18 Juni 2009- 
Gambar dipinjam dari Sini 



 
Saya makhluk yang gila baca. Saya ingat sekali kenapa kegemaran itu mendarah daging pada saya sekarang. Pada saat saya masih TK, ibu sering sekali membawakan komik Donal Bebek yang Full Colour. Nah, karena saat itu saya masih belum bisa membaca dengan lancar, saya hanya tertarik dengan warna – warnanya saja. Setelah masuk usia SD, baru saya benar – benar lapar membaca. Semua buku cerita yang dibelikan ibu selalu saya lahap sampai selesai tidak sampai 1 hari. Donal Bebek, Tin tin, Kuncup, BOBO, Ananda dll. karena kewalahan dengan kemampuan baca saya yang super cepat, akhirnya ibu membawa pulang koran yang ada di sekolah. Jadi sejak kecil saya pun sudah terbiasa membaca koran. Satu kebiasaan buruk yang sampai saat ini masih saya lakukan dan orang tua tidak suka yaitu makan sambil membaca. Rasanya ada yang kurang kalau misalkan saya makan tidak membawa bahan bacaan. Mungkin itu juga alasan kenapa saya makannya lama -nyengir manis- . Saya bisa membutuhkan waktu minimal 30 menit hanya untuk menghabiskan makanan 1 piring. Betapa tidak produktifnya ^_^. Tetapi apa mau dikata, kebiasaan yang susah dirubah. 
Kembali ke hobi membaca saya, pernah suatu saat ibu, yang guru bahasa Indonesia, saat itu mempunyai ide cemerlang. Beliau memberikan tugas kepada semua muridnya untuk membuat kliping tentang cerita pendek apapun. Wah, betapa senangnya saya ketika berkarung – karung kliping sudah sampai di rumah. Setelah dikoreksi oleh ibu, baru saya bebas membacanya. Ceritanya bagus – bagus. I love you, Ibu
Ketika SMP dan SMA, saya lebih sering menghabiskan waktu istirahat di ruang perpustakaan. Selain bisa membaca buku cerita, saya juga bisa membaca berbagai macam ilmu pengetahuan. Tidak mengherankan, mata saya sudah minus sejak SMP. Bahkan dengan berjalannya waktu, bukan hanya minus, tapi silinder juga ikutan nangkring. Hmmm, untung saja Ibu sering membuatkan air perasan wortel. Mencegah minus bertambah, kata Beliau. Nah, kalau di bangku kuliah, waktu saya tidak fleksibel lagi untuk membaca. Praktikum dan  padatnya jadwal perkuliahan menyedot waktu dan pikiran saya. Kalau sudah sampai di kos, sudah capek rasanya. Walhasil, baru membaca 1 halaman saja sudah tertidur. Karena perpustakaan pusat di kampus saya jauh dari jurusan dan sebagai mahasiswa yang masih menggantungkan kehidupan dari "beasiswa" orang tua, maka saya harus putar otak supaya masih bisa membaca secara gratis. Satu cara saya peroleh yaitu membaca di perpustakaan daerah yang letaknya tidak begitu jauh dari kampus. Cuma 1 kali angkot. Nah, kalau kita mendaftar menjadi anggotanya, bisa deh pinjam buku sepuasnya. Cara yang lain adalah meluaskan pergaulan di kampus dan mendekati teman – teman yang mempunyai hobi membaca sehingga saya bisa meminjam buku mereka secara gratis.
Karena dendam masa lalu yang tidak bisa membeli buku secara leluasa, kendala keterbatasan dana, maka sejak bekerja saya seperti orang yang gila buku. Setiap bulan pasti membeli buku. Bukan cuma satu atau dua buku yang dibeli. Minimal ada 5 buku yang harus dibeli. Rekor saya masih kalah jauhlah kalau dibandingkan dengan Andy F. Noya yang bisa menghabiskan budget berjuta – juta sebulan. Rekor yang pernah saya lakukan dalam hal budget membeli buku yaitu ketika saya harus menemani Ibu operasi di Rumah Sakit Jember. Karena berita Ibu akan dioperasi mendadak banget saya terima, jadi saya tidak ada persiapan untuk pulang ke Jember. Nah, begitu selesai operasi, ibu tidak boleh langsung pulang karena operasinya tergolong operasi besar. Harus menunggu 1 minggu. Nah, dikamar pasien tidak ada TV pula. Akhirnya saya ke Toko Buku. Entah setan apa yang nempel di saya saat itu, begitu membayar di kasir,700rb sudah saya habiskan (sekitar 20an Buku). Padahal baru seminggu sebelumnya saya juga membeli buku. Huh, habislah gaji saya. Tapi tak apalah, tidak akan pernah rugi uang saya kalau belanja untuk buku.
Kalau dikalkulasikan pengeluaran tiap bulan saya, memang saya paling boros di bagian buku. Saya lebih suka berhemat agar bisa membeli buku daripada membeli baju, sepatu atau pernak – pernik wanita lainnya. Kalau mengutip perkataan teman saya “lo tuh emang perempuan yang aneh. Yang lain mah pada rela antri buat night sale, eh lo malah rela datang jauh – jauh ke bursa buku. Mending lo bikin perpustakaan aja. Buku lo kan dah berjibun tuh”. Hehehe, mungkin memang benar adanya apa yang dikatakan teman saya itu. Saya tidak terlalu suka berdandan habis – habisan untuk penampilan. Bukannya saya tipikal wanita yang cuek dengan penampilan, tetapi saya berdandan sewajarnya saja. Tidak seperti merek berjalan. Lebih baik saya mengupdate otak saya dengan banyak membaca.
Satu lagi kebiasaan saya yang tak lazim dibandingkan orang kebanyakan. Saya terbiasa memberikan hadiah sebuah buku kepada teman saya yang ulang tahun atau sedang merayakan sesuatu, kecuali pernikahan. Entah kenapa, saya merasa puas jika saya bisa memberi kado buku. Walaupun misalkan orang yang saya kasih kado itu tidak hobi membaca, tetap saja saya akan memberi kado buku. Karena prinsip saya, suatu saat buku itu akan dibaca juga. Suatu saat pasti.
Tetapi sejak saya di Jakarta, saya melihat fenomena yanga agak aneh. Saya mempunyai saudara sepupu di Jakarta Pusat dan Bekasi. 2 saudara saya itu sangat berkecukupan dalam hal materi. Tetapi jika saya perhatikan, mereka tidak hobi membaca. Berjuta – juta uang dihamburkan hanya untuk membeli kaset PS, membeli robot – robotan, membeli boneka barbie, membeli PS terbaru, membeli segala macam gadget paling mutakhir. Apakah memang zaman sudah mulai bergeser atau memang karena sejak kecil mereka tidak dibiasakan membaca sehingga mereka lebih suka menghabiskan waktu berjam – jam hanya untuk bermain game, jalan – jalan di mall dan sebagainya. Pernah beberapa kali saya datang membawa buku bacaan yang sesuai dengan umur mereka. Hasilnya, buku yang saya bawakan tidak disentuh sama sekali. Cuma dilihat sekilas kemudian digeletakkan di meja. Wah, kenyataan yang bikin saya sesak di dada. Kenapa? karena untuk anak – anak yang terletak dipelosok desa, ataupun mereka yang berada di kota tetapi tidak mempunyai biaya untuk membeli buku, mereka harus berusaha dengan sekuat tenaga supaya tetap bisa membaca dan sekolah. Bahkan beberapa taman bacaan sering minta donatur buku – buku yang masih bisa dibaca karena minat baca anak – anak yang terletak jauh dari perkotaan, ataupun untuk anak - anak yang tidak mampu di perkotaan , sangatlah tinggi tetapi tidak ada bahan yang bisa dibaca.
Kenyataan yang sangat kontras. Kalau saya bertanya ke orang tua sepupu saya itu kenapa tidak membiasakan anak membaca sejak kecil, mereka menjawab bahwa permainan PS dan sejenisnya itu juga melatih otak untuk bisa tumbuh kreatif. Okelah, alasan itu bisa diterima. Tetapi mengapa tidak bisa menyediakan buku 1 atau 2 buah saja supaya minat baca itu tidak memudar. Itu yang saya gugat. Karena saya rasa sangatlah tidak adil mereka bisa membuang uang berjuta – juta sebulan sedangkan dilain pihak masih banyak anak – anak yang haus akan ilmu pengetahuan tetapi tidak mempunyai sarana dan prasarana untuk memuaskan dahaga mereka. Apakah memang kehidupan perkotaan yang membuat para sepupu saya dan beberapa anak – anak yang setiap harinya berkutat didepan layar TV atau komputer untuk nge-game tidak punya lagi minat baca dan mereka tumbuh menjadi generasi yang konsumtif. Alangkah ngerinya kalau kenyataan itu yang terjadi. Apa kabar Indonesia kalau generasi yang bergelimang kemewahan ini berjalan atas nama ketidakpedulian dan keegoisan terhadap sesama dan menjadikan tiadanya minat membaca. Bukankan membaca itu adalah jendela untuk melihat dunia. Bukankah ilmu pengetahuan itu adalah salah satu alat yang tak akan mati sampai kapanpun untuk kita bisa meraih kesuksesan.
Karena itu, alangkah bijaknya kita yang masih peduli kepada generasi penerus, untuk bisa bersama – sama menumbuhkan minat baca diantara anak – anak, memberikan sumbangan buku kepada taman bacaan yang berkekurangan atau kembali membudayakan kegiatan mendongeng. Mendongeng itu saya rasa adalah langkah yang bagus untuk memperkenalkan kepada anak tentang budaya membaca. Jadi, jika kita masih peduli dengan bangsa ini dan kelangsungan negara tercinta, mari kita tumbuhkan kembali minat baca diantara kita. Dimulai hari ini, dimulai dari keluarga kita sendiri dan dimulai dari diri sendiri. 
Selamat membaca.
-Jakarta, 25 April 2010- 
Gambar dipinjam dari sini


Ketika sang kala tak kuasa hentikan detik asa yg bergulir resah
Bilur kegetiran bersimbah ikhlas menetes dalam tiap butiran do'a
Ijinkan kami luruh pada tiap detik agungkan asmaMu
Sebelum tapak ini terhenti sangkakala maut

-Jakarta, 26 September 2009-


Sudah hampir 3 bulan saya hidup mandiri setelah 3 tahun lebih perjuangan keras untuk bisa keluar dari rumah bulek. Kenapa saya bisa mengatakan perjuangan keras? Karena sebagai anak yang terlahir dari keluarga jawa, dari kecil saya di doktrin untuk lebih menjaga perasaan orang lain dibandingkan mengedepankan perasaan sendiri. Hal ini juga berlaku ketika saya datang ke Jakarta untuk bekerja. Sejak sebelum sampai, bulek sudah wanti – wanti agar nanti kalau di Jakarta tidak usah kos karena ada kamar kosong di rumahnya yang bisa ditempati. Padahal sebagai pribadi yang sudah biasa kos sejak SMA, hal tersebut membuat saya malah menjadi tidak nyaman. Menumpang di rumah saudara tidak pernah terbayangkan oleh saya sebelumnya. Tapi ya sudahlah, dijalani saja. Saya tidak kuasa menolak karena ya itu tadi, tidak enak dengan saudara. Apalagi beliau adalah adik ibu saya. Singkat cerita, saya sudah bisa kos sekarang dengan melewati masa 3 tahun lebih numpang. Pfiuuhh, perjalanan yang melelahkan sebenarnya.

Saya ingin menceritakan keistimewaan rumah kos saya bersama semua penghuninya. Dari seorang teman kantor yang memberi tahu bahwa ada kamar kos kosong dekat dengan tempat kos dia, malamnya saya langsung melihat tempat tersebut. Tampak depan, saya agak takut dengan kondisi halamannya. Agak gelap karena penerangannya minim. Tetapi setelah masuk ke dalam rumahnya, saya merasa nyaman. Entah kenapa. Berkenalan dengan ibu pemilik rumah saya diperlihatkan sebuah kamar. Besar, 1 meja rias, 1 meja komputer, 1 meja tempat makanan, 1 lemari yang super duper besar, 1 jendela besar yang menghadap ke taman mungil dan ventilasi yang baik membuat kamar tersebut terasa sejuk. Saya langsung membayar down payment walaupun saat itu saya belum menemukan cara bagaimana agar saya bisa keluar dari rumah bulek. Ya sudahlah, itu urusan nanti. Yang penting saya sudah menemukan tempat kos yang nyaman.Ibu kos saya lalu bercerita bahwa dia mempunya 3 anak. Anak sulung wanita di bandung, anak kedua dan anak ketiga masih tinggal satu rumah.

Dengan diantar seorang teman yang membantu membawa barang – barang saya yang super banyak itu, pada hari yang sudah disepakati, akhirnya saya pindah juga ke kos ini. Ternyata rumah ini lumayan besar. Ada taman dibelakang rumah, lengkap dengan ayunan dan teras berrsama kursi anyamannya. Ruang makan yang menjadi satu dengan dapur bersih. Total ada 6 kamar termasuk dengan kamar saya dan kamar asisten rumah tangga. Ada 2 asisten rumah tangga, saya memanggilnya dengan mbok dan mbak. Mereka sangat baik dan bersahaja. Selalu membersihkan kamar saya dan meletakkan baju yang sudah diseterika di gantungan lemari dan diatas tempat tidur saya. Intinya saya kos disini perlakuannya sama seperti saya tinggal di rumah bulek. Terima beres semua. Harganya pun murah meriah. Dekat dengan kantor pula. Benar – benar anugerah.

Nah, sekarang saya ingin menceritakan keistimewaan yang kedua. Penghuni rumahnya. Kalau tadi saya sudah menyebutkan sepintas, sekarang saya akan menceritakannya secara lengkap. Bapak kos saya adalah pensiunan BUMN terkemuka di negeri ini. Ibu kos saya adalah ibu rumah tangga yang di usinya sudah menginjak umur 63 tahun masih terlihat sangat muda dan cantik. Mungkin karena faktor beliau berasal dari bandung juga. Mereka mempunyai 3 orang anak. Anak pertama adalah perempuan, sudah berkeluarga dan sekarang tinggal di bandung. Anak kedua, perempuan, sudah berkeluarga dan masih tinggal dengan orang tua. Anak kedua ini diberikan keistimewaan yaitu Tunanetra. Dia menikah dengan seorang Tunanetra juga. Mereka diberikan anugrah 2 orang anak lelaki. Anak pertama terlahir normal dan anak kedua Tunanetra. Kemudian anak terakhir bapak ibu kos saya adalah lelaki. Dia juga Tunanetra.

Subhanallah, pemilik rumah ini benar – benar mendapatkan barakah Allah. Diberikan anak – anak dan cucu yang istimewa. Sampai detik ini saya tidak mengetahui penyebab tunanetra mereka. Informasi yang baru saya kumpulkan dari mbok adalah mereka Tunanetra sejak lahir. Dan yang saya pahami adalah Tunanetra itu bukan penyakit turunan. Jadi, pasti ada sesuatu yang terjadi. Anyway ini akan menjadi PR buat saya untuk menanyakan selengkapnya pada ibu kos. Mereka hidup selayaknya manusia normal setiap harinya. Menggunakan gadget, mengikuti jejaring sosial dan berkegiatan yang sama seperti saya. Tidak ada yang berbeda. Begitupun anak yang mempunyai orang tua Tunanetra, dia tidak merasa malu sedikitpun. Seringkali diantar ibunya ke sekolah dan jika sabtu, ibu juga mengantar dan menunggui anak Taekwondo jika dia sedang libur. Wow, mungkin karena mereka terlahir dari keluarga berada, mereka mendapatkan pendidikan dan fasilitas yang sama seperti manusia normal. Hal tersebutlah kemungkinan yang menjadikan mereka tidak canggung berada di komunitas masyarakat.

Ada banyak hal yang mengagumkan yang saya bisa maknai tiap hari. Dengan hidup diantara Tunanetra, saya menjadi lebih banyak bersyukur akan banyak hal dan juga malu akan banyak hal juga. Saya bersyukur diberikan tubuh yang sempurna sehingga saya bisa melakukan segala macam kegiatan tanpa ada hambatan. Sebaliknya, saya juga seringkali malu karena saya yang tidak punya kekurangan fisik seringkali mengeluh ini itu dan kadang malas – malasan untuk melakukan segala sesuatunya. Sedangkan orang – orang disekeliling saya yang diberi keterbatasan fisik malah melakukan dan menghasilkan sesuatu tanpa ada batasan, tanpa ada hambatan dan yang terpenting tanpa ada keluhan.

Seringkali saya melamun dan membayangkan andaikan saja saya terlahir sebagai Tunanetra. Saya tidak bisa melihat bagaimana rupa saya sebenarnya. Cantikkah, tampankah, elok rupakah, burukkah . Saya tidak bisa mereka - reka bagaimana bentuk tulang pipi saya, seberapa legam rambut saya, seberapa elok mata saya. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan saya tidak bisa melihat wajah kedua orang tua saya. Saya tidak bisa melihat bagaimana wajah cantik ibu dan gagahnya bapak saya. Saya tidak bisa melihat wajah saudara – saudara saya, saya tidak bisa menikmati alam ciptaan Tuhan, saya tidak tahu apa arti warna kuning, merah, hijau dan warna – warna indah lainnya. Saya tidak bisa melihat betapa indahnya Pelangi. Saya tidak bisa megnimajinasikan bagaimana rupa avatar ketika semua orang membicarakan betapa hebatnya film ini. Ketika suatu saat saya menikah, saya tidak bisa memandang wajah tampan suami saya. Banyak hal indah yang Tuhan ciptakan di dunia ini tidak bisa saya lihat menggunakan mata saya. Saya pasti akan sedih akan hal tersebut. Satu hal lagi, mungkin ketika saya di posisi Tunanetra, saya juga tidak akan bisa menikmati betapa indahnya ketika kita bisa membaca Al-Qur’an, melihat setiap lekuk hurufnya dan melafadzkannya dengan senandung keikhlasan walaupun saya tau, semua pasti bisa dilakukan karena mereka punya huruf braile. Tapi rasanya pasti akan beda apabila kita bisa mengaji menggunakan mata normal.

Tetapi, pasti ada hikmah disetiap peristiwa. Saya tahu kenapa Allah menciptakan mereka tidak bisa melihat. Sesungguhnya mereka adalah orang yang terpilih untuk dijaga penglihatannya dari segala kemaksiatan dunia. Mereka diberikan penglihatan yang lebih sempurna dibandingkan kita manusia normal. Mereka mempunyai mata yang lebih tajam dan lebih bersih daripada mata kita. Mereka mempunyai mata hati. Jujur seringkali saya iri melihat mereka yang di jaga pandangannya oleh Allah. Bagamana tidak, saya yang mempunyai mata normal saja seringkali menodai mata saya ini dengan segala kemaksiatan. Melihat tulisan yang tak layak di baca. Melihat film yang jelas – jelas bisa menimbulkan dosa. Membaca berita yang saya sendiri tahu bahwa itu adalah fitnah. Melihat kebesaran Allah tetapi jarang sekali untuk berucap syukur atas segala nikmatNya. Betapa saya telah meracuni jiwa ini lewat mata. Berapa banyak dosa yang telah saya perbuat melalui mata. Karena terlalu seringnya mata ini dibiasakan melihat hal – hal yang tak layak, menjadikan mata hati saya tumpul. Tumpul karena saya sibuk mengasah keduniawian lewat mata kepala. Tumpul karena saya tak pernah mengasahnya dengan sesuatu yang bersifat ke Tuhanan. Tumpul karena saya jarang bersyukur untuk nikmat yang tak henti – henti Alah sudah berikan.

Alhamdulillah, mungkin saya diberikan teguran yang maha dahsyat dengan mengenal orang – orang luar biasa ini. Bagaimana mereka memberikan kontribusi yang lebih kepada yang berkekurangan. Anak ibu kos yang terakhir, bekerja di LSM. Hampir tiap minggu dia selalu keluar kota, keluar pulau ataupun keluar negeri untuk melakukan kegiatan sosial. Membantu mereka yang berkekurangan. Lihatlah, bagaimana saya tidak malu melihat itu semua. Dia yang kekurangan saja selalu bersemangat untuk membantu saudara kita yang berkekurangan lainnya. Apa kabar dengan saya. Tidak melakukan apapun padahal kalau sabtu minggu tak pernah ada kegiatan apapun dan saya diberikan kesempurnaan fisik untuk bisa melakukan yang lebih dibandingkan dia. Astaghfirullahaladzim, betapa saya telah melakukan kerugian berpuluh tahun ini. Betapa saya adalah kaum yang merugi. Tak bersemangat melakukan apapun. Hanya berkeluh kesah dan menuntut segala sesuatu kepada Allah padahal saya sedikit memberikan apa yang Allah pinta. Umat macam apa saya ini.

Perlahan – lahan saya mencoba untuk memperbaiki mental ini. Berusaha setiap pagi, bangun dengan penuh rasa syukur. Mencoba belajar agar mata ini dijauhkan dari kesesatan. Dipaksakan untuk sering membaca Al-Qur’an dan membaca tafsirnya. Betapa Allah itu adil atas segala sesuatunya. Tak layak rasanya jika saya setiap kali berdo’a memohon, menuntut dan selalu memaksaNya untuk mengabulkan doa saya, padahal saya masih berbuat sedikit untuk sesama. Selama saya masih diberikan Umur yang barakah ini, saya akan berusaha dengan keras menggunakan apa yang telah Allah amanahkan sebagai ladang tempat saya bersyukur. Mengasah mata hati ini supaya saya menjadi umat yang amanah dan menjauhkan diri dari laranganNya. Mendekatkan diri pada ajaran dan perintahNya. Semoga kita semua menjadi umat yang selalu berada di jalan yang benar dan Istiqomah dalam beribadah. Karena sejatinya manusia diciptakan didunia ini adalah untuk beribadah. Semoga kita bisa lebih sering menggunakan mata hati untuk melihat kebesaranNya dan menggunakan mata kepala kita untuk bekal melakukan segala kebaikan. Betapa Allah maha besar atas kuasaNya

Oh ya, sewaktu saya menulis ini*siang hari*, beberapa Tunanetra sedang berlatih band dengan lagu - lagu terkini. suara vokalisnya tak kalah dengan suara para Indonesian Idol dan pemain musik yang lain juga tak kalah jagonya dengan pemain band yang sudah senior. Subhanallah, saya hanya bisa mendengarkan mereka menciptakan lagu dengan perasaan iri dari sudut kamar saya karena mereka lebih berkreasi dari saya.


-Jakarta, 25 April 2010 dini hari ga bisa tidur-



Derap langkah letih berlari
Mengejar sesuatu yang tak pasti
Menggapai angan yg tak hakiki
Ijinkan raga untuk berlabuh
Sandarkan sauh yg terkayuh
Bukan sesaat
Tidak sejenak
Biarkan hamba bersimpuh
Tunduk diharibanMu
Sujud pada NikmatMu
Tanggalkan pekatnya dosa
Larung setangkup takabbur
Kubur onggokan khilaf
Satu persatu layak terselesaikan
Hutang yang tertunda
Janji yang sengaja terlupa
Gelitik hasrat tuk senangkan sang papa
Dan kemudian
Hamba tak akan ragu
Melangkah kembali padaMu

-Jakarta, 11 September 2009-


Saya selalu merasa nyaman ketika berada di rumah ini. Rumah dimana saya dibesarkan. Sebuah kota kecil yang masyarakatnya masih dipenuhi cinta. Saya bisa merasakan wanginya embun, gemerisik daun pohon mangga di halaman rumah, geliat burung yang hinggap di pucuk pohon jeruk, menyesap bulir keheningan dengan rasa rindu yang membuncah dan menghirup aroma masakan ibu dipagi hari. Hmmm…saya selalu ingin kembali pulang.

Melangkah memasuki halaman rumah adalah menjadi saya yang tanpa ambisi, tanpa mimpi – mimpi muluk dan saya yang apa adanya. Kembali ke rumah adalah saat dimana saya mencoba mengingatkan pada diri sendiri bahwa yang saya kejar selama ini adalah seonggok cita – cita tanpa saya tahu pada siapa saya akan persembahkan. Saya selalu mengejar apapun yang saya inginkan. Kemudian saya akan melemparkan ketika saya sudah mendapatkan dan kembali mengejar yang lain…hhhh, saya merasa lelah sekarang.

Rumah ini selalu mengingatkan saya akan beberapa masa yang terlewati. Masa ketika saya tumbuh sebagai gadis kecil yang tomboy, masa ketika saya mengenal cinta pertama, masa dimana saya merasakan sakit ketika putus cinta, masa ketika saya harus mengambil keputusan besar dalam hidup dan masa ketika saya bimbang untuk memilih. Semua saya lalui disini, bersandar di bahu kedua orang tua saya ketika saya letih.

Di rumah, saya selalu diingatkan bahwa saya adalah seorang anak yang mempunyai kewajiban untuk membuat orang tua saya selalu tersenyum bahagia. Saya dulu pernah berjanji untuk selalu membuat mereka merasa bangga sudah menjadikan saya ada di dunia ini. Saya menikmati setiap detik dimana saya bisa bercengkrama membicarakan apapun,termasuk topik pembicaraan yang saya benci sekaligus membuat saya sedih yaitu pernikahan. Saya benci ketika mereka bertanya kapan saya dan kekasih akan mengakhiri masa pacaran di depan penghulu. Saya juga sedih ketika menatap raut muka mereka yang kecewa ketika saya menjawab “Nanti, ketika saya sudah yakin akan pilihan saya dan saya tidak tahu kapan waktunya”. Rasanya ada sembilu yang menusuk ketika gurat lelah itu mendesah kecewa. Maafkan, saya tidak bermaksud membuat luka. Saya hanya ingin membuat Ibu Bapak bahagia. Itu saja.

Sejauh apapun kaki ini melangkah, setinggi apapun cita ini terbang, sedalam apapun hasrat ini menyelam dan kemanapun hati ini berkelana, Saya salalu rindu untuk pulang ke rumah dan melihat tatapan teduh Ibu Bapak. Saya berjanji akan selalu menemani di sisa hidup mereka.

Di rumah ini saya selalu menapak kembali di bumi…..

-Situbondo, Senin 23 Maret 2009 09:05-

reposting from my notes on Facebook


Bagaimana saya harus memulai untuk bercerita. Terlalu banyak kebaikannya untuk dikenang. Saya ralat, bukan dikenang. Tetapi diingat. Karena Alhamdulillah beliau masih diberikan umur panjang sampai sekarang. Saya pertama kali mengenal lelaki ini 29 tahun lalu.

Terlahir dari keluarga yang berkecukupan di sebuah desa yang terletak di kaki gunung 60 tahun lalu. Walaupun berasal dari keluarga yang berada, beliau tidak serta merta melalui masa kecil dengan hidup yang serba bergelimang materi. Sang ayah meninggal ketika beliau masih balita dan sang ibu harus menanggung kehidupan 4 anak kecil. Menjadi lelaki satu – satunya dan bungsu diantara 4 bersaudara bukanlah perkara mudah. Pengharapan keluarga tertumpu padanya. Masa sekolah yang harus dilalui dengan berjalan berpuluh kilometer sehari pulang pergi tanpa mengenakan alas kaki adalah hal yang harus dijalani setiap hari. Kadangkala ada rasa untuk menyerah. Tetapi dengan penuh kasih sayang ibu memberi tahu jika hanya pendidikan yang akan bisa mengantarkannya sukses suatu hari nanti. Sepulang sekolah membantu bekerja di sawah agar di awal bulan ada uang untuk dibayarkan supaya sekolah tidak berhenti ditengah jalan. Dengan kesungguhan tekad, akhirnya setelah tamat SMP, beliau pindah ke kota lain untuk melanjutkan ke SMA. Dengan menumpang tinggal di rumah kakak kandung yang sudah menikah dan hijrah ke kota ini, beliau melalui masa SMA dengan sebuah harapan besar, menjadi PNS di kota tersebut. Setelah tamat SMA, beliau mendaftar di PEMDA setempat dan Tuhan memang sedang menitipkan amanah yang besar pada beliau untuk menjadi PNS. Dimulai dari golongan II, beliau bekerja dengan selalu mengedepankan kejujuran dan amanah. Dengan kegigihan dalam bekerja, beliau akhirnya bisa membeli sebuah sepeda motor Honda model laki – laki dan pindah ke sebuah rumah kontrakan yang sederhana. Beliau tinggal di rumah kontrakan tersebut bersama beberapa keponakan yang sedang menuntut ilmu di kesehatan dan di kepolisian.

Karena tidak mempunyai saudara lelaki di rumah, untuk masalah percintaan beliau memang agak tertutup. Walaupun begitu, beliau bukanlah orang yang kurang pergaulan. Karena kesopanan dan kejujuran beliau, banyak orang yang merasa nyaman untuk berteman. Begitupun wanita. Setidaknya ada 3 wanita yang pernah menghiasi masa pacaran beliau. Semuanya dilalui dengan proses yang sangat serius. Bahkana beliau sudah bertunangan, tetapi mungkin karena faktor belum jodoh, pertunangan itupun tak pernah berlanjut sampai ke jenjang pernikahan. Sampai suatu siang, ketika beliau sedang melintas di depan bangunan SMP favorit di kota tersebut, beliau melihat ada gadis cantik yang sedang berdiri di pinggir jalan. Menunggu angkutan umum mungkin, pikir beliau. Setelah selesai membeli bensin untuk motornya, beliau kembali melintas didepan SMP tersebut dan melihat si gadis masih berdiri menunggu. Entah keberanian darimana, beliau mengajak berkenalan gadis tersebut. Perkenalan yang tak terduga tersebut adalah awal dari segalanya. Dengan perjuangan yang berliku untuk memenangkan hati gadis pujaan, beliau akhirnya bisa meminang dan mengucapkan akad nikah 6 bulan kemudian di umur 30 tahun dan sang gadis 27 tahun. Cukup singkat memang, tetapi beliau sudah mantap untuk memulai segalanya.

Membangun rumah tangga dengan keadaan ekonomi yang pas – pasan tidak membuat pengantin baru ini menyerah begitu saja. Rumah kontarakan yang sangat sederhana dimana sebagian besar dindingnya terbuat dari bilik dan jika musim hujan, bocor disana sini adalah hal yang biasa. Pertengkaran sering menjadi bumbu karena singkatnya masa perkenalan sebelum menikah. Tetapi sedikitpun tak pernah keluar kata perceraian. Setahun kemudian, lahir seorang bayi perempuan melengkapi kebahagiaan pasangan ini. Tetapi keadaan ekonomi masih belum berubah seutuhnya. Istri beliau yang bekerja sebagai guru, rela untuk banting tulang mmbantu memperbaiki perekonomian keluarga. Pagi hari berangkat dengan mengendarai sepeda onthel pergi mengajar di SMP kota. Sore hari sudah berpindah ke SMP yang ada di kecamatan dan baru sampai rumah malam hari. Praktis untuk urusan domestik peran pembantu sangatlah besar, termasuk menjaga bayi mereka. Pasangan ini tidak pernah menyalahkan keadaan karena mereka yakin suatu saat keadaan pasti akan berubah. 3 tahun kemudian, lahirlah anak lelaki. Disusul 3 tahun kemudian lahirlah anak perempuan. Lengkaplah sudah kebahagiaan beliau sebagai kepala keluarga karena sudah memiliki harta yang tak ternilai, yaitu sebuah keluarga yang utuh.

Perlahan – lahan keadaan perekonomian mulai membaik. Beliau sudah bisa membeli sebidang tanah dan membangun rumah diatasnya. Berbekal dengan tabungan yang pas – pasan dan hutang kepada atasan, akhirnya rumah idaman pun berdiri diatas bumi ini. Di awal 90 an, beliau sekeluarga akhirnya menempati rumah baru. Besar, kokoh, nyaman dan tidak pernah bocor jika musim hujan datang. Dan yang pasti rumah ini semakin hangat karena adanya cinta kasih diantara anggota keluarga. Perlahan namun pasti, beliau juga mengalami kenaikan di pekerjaannya dan bisa melanjutkan jenjang S1. Hal tersebut juga mempengaruhi perekonomian keluarga. Keadaan yang sama juga terjadi pada sang istri. Walaupun begitu, tak ada satupun yang berubah pada beliau. Masih sosok suami yang selalu menyayangi istrinya, sosok bapak yang selalu member teladan untuk ketiga anaknya dan sosok lelaki pekerja keras yang selalu bekerja dengan kejujuran dan takut dengan Tuhan.

Sebagai seorang suami, beliau adalah tipe yang selalu mengalah dan mengedepankan komunikasi. Mempunyai istri yang keras kepala dan sangat mandiri bukanlah perkara yang mudah. Dari sekian kali pertengkaran, kunci utamanya adalah beliau yang selalu mengalah. Meskipun terkadang beliau sakit hati karena ucapan kasar dari istrinya, beliau tidak pernah membalas dengan sesuatu yang menyakitkan juga. Beliau hanya memberi pengertian. Dan setelahnya beliau pasti akan sholat dan meminta petunjukNya. Tidaklah mengherankan kalau tahun ini pernikahan beliau menginjak diusia 30 tahun.

Membesarkan 3 anak yang memiliki karakter berbeda juga bukanlah hal yang bisa dianggap gampang. Sulung yang keras kepala dan selalu membangkang. Anak tengah yang memiliki keterbatasan dalam berpikir dan bungsu yang kalem dan selalu mengalah diantara 2 saudara yang lain. Mungkin lebih tepatnya bagi beliau, tidaklah gampang mendidik anak pertamanya. Perdebatan dan pertengkaran kerap terjadi. Membanting pintu, pergi dari rumah ataupun mengeluarkan kata – kata yang kasar bukanlah hal yang baru untuk beliau dan istri. Tetapi tidak pernah sekalipun beliau membalasnya. Beliau hanya selalu berusaha untuk mengedepankan komunikasi, mengajak berbicara dari hati ke hati. Saya kadang suka bertanya, terbuat dari apa hati beliau ini. Kenapa begitu sabar menghadapi dunia ini. Suatu saat saya bertanya tentang hal ini pada beliau, beliau hanya mengatakan kalau suatu saat pasti ada hasil baik yang akan bisa dipetik dari semua ini. Air mata saya menetes dan ingin rasanya saya memeluk beliau saat itu.

Ketika ketiga anaknya bersekolah di kota besar dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit, tidak menyurutkan beliau untuk tetep bekerja secara jujur. Dari pasangan yang bekerja sebagai PNS disebuah kota kecil tanpa pekerjaan sampingan lainnya, saya juga mengerti berapa penghasilan mereka. Jalan satu – satunya adalah pinjam ke Bank. Tetapi beliau tak pernah berputus asa menghantarkan ketiga anaknya untuk berjalan menuju gerbang kesuksesan. Bahu membahu dengan istri, beliau menjalani kehidupan yang kembali sederhana. Mengumpulkan sedikit demi sedikit penghasilan agar ketiga anaknya bisa kuliah dan tidak kekurangan makan di kota orang. Walaupun setiap harinya harus dilalui dengan makanan yang sederhana, barang – barang yang sederhana, tidak pernah sedikitpun keluh kesah keluar dari mulut beliau. Tahun 2005 anak sulungnya lulus kuliah dan saat itu sudah diterima bekerja di salah satu perusahaan multinasional di Indonesia. Tidak pernah lupa dari ingatan saya ketika beliau dan istri menghadiri acara wisuda. Senyum bahagia dan tatapan bangga karena si sulung meraih nilai baik di kelasnya. Mata itu seolah berbicara “inilah hasil yang sudah saya petik. Melihatnya memakai toga, berdiri diantara lulusan lainnya dan melihat senyum kebahagiaannya adalah sesuatu yang lebih dari cukup untuk saya”. Kembali, air mata saya menetes saat itu. Di tahun itu pulalah, beliau memasuki usia pensiun.

Tahun ini, anak tengah dan si bungsu pun akan segera diwisuda. Itu berarti beliau akan mempunyai waktu untuk memikirkan diri sendiri dan istri. Memiliki kesempatan untuk menabung setelah tertunda sekian puluh tahun. Tetapi ketika saya tanya dengan nada bercanda, apa yang akan beliau lakukan ketika sudah tidak memiliki tanggungan lagi dan bisa menikmati hasil pensiunan ini. Dengan sedikit kebingungan beliau menjawab “apa ya, saya juga bingung. Karena belum terpikir oleh saya. Saya sudah terbiasa membiayai anak – anak saya. Jadi agak aneh mungkin nantinya kalau saya menerima uang pensiun utuh setiap bulannya. Mungkin nanti uangnya akan saya tabung untuk keperluan anak – anak saya. Siapa tahu meskipun mereka sudah bekerja, mereka masih memerlukan bantuan dari saya”. Tuhan, Kau ciptakan dari apa lelaki ini. Hatinya begitu mulia. Saya kembali bertanya, mengapa tidak dikumpulkan uangnya untuk naik haji saja. Beliau pun menjawab “Insya Allah, nanti saya pasti akan berangkat ke tanah suci. Tetapi setelah anak kedua saya mendapatkan pekerjaan yang mapan. Rencananya, saya akan membantu biaya untuk dia masuk PNS, karena biayanya tidak sedikit. Anak kedua saya kan memiliki keterbatasan”. Sampai dititik ini, saya tak kuasa menahan air mata saya untuk keluar. Tak pernah sedikitpun di benaknya untuk memikirkan dirinya sendiri. Menunda mendaftar haji hanya sekedar untuk menunggu anak kedua bisa masuk PNS

Bulan juli nanti beliau genap berusia 60 tahun. Usia yang sudah sangat senja. Beliau sudah berbeda dari yang saya kenal bertahun – tahun yang lalu. Badannya sudah agak kurus, tidak setegap dulu. Rambut yang sudah semakin sedikit dan beruban semua. Gigi yang mulai tanggal disana sini. Kulit yang sudah mulai mengeriput dan ingatan yang sudah mulai menurun. Beliau pun sudah tidak sesehat dulu lagi. Walaupun tidak mempunyai penyakit yang serius, setiap 3 bulan sekali beliau tidak pernah lupa untuk cek kesehatan. Setiap pagi selalu olahraga jalan dan setelahnya mengantarkan es disekolah istrinya. Hasil dari berjualan es yang dititipkan ini beliau simpan di kaleng kecil dan jika sudah terkumpul sampai jumlah tertentu, beliau akan simpan di Bank. Beliau mengatakan, lumayan untuk menambah tabungan buat anak – anaknya. Ketika istrinya sudah berangkat untuk mengajar, beliau mulai membersihkan rumah, memasak nasi, mencuci piring dan seminggu sekali membersihkan musholla dekat rumah. Ketika adzan dhuhur berkumandang, beliau sudah ada di musholla tersebut untuk sholat berjama’ah. Selesai sholat, sambil menunggu istri pulang dari mengajar, beliau makan siang sambil menonton kabar terkini di televisi. Sembari menonton TV, seringkali beliau terlelap. Ketika istri sudah datang, beliau akan terbangun dan menanyakan apa yang terjadi disekolah hari ini. Mereka pun akan bercerita tentang apa yang terjadi hari ini, sampai salah satu diantaranya tertidur. Sorenya, beliau kembali dengan rutinitas, menyeterika baju, menyapu halaman dan ketika beranjak senja beliau akan ke musholla untuk melaksanakan sholat maghrib dan isya berjamaah. Begitulah rutinitas beliau sejak pensiun.

Suatu waktu saya bertanya apa beliau tidak bosan dengan rutinitas yang sama tiap harinya. “saya tidak pernah bosan dengan apa yang saya jalani sekarang. Berusaha dekat dengan Sang Pencipta, untuk menebus waktu saya di masa lalu yang sedikit lalai padaNya. Dekat dengan istri saya karena dulu saya sering meninggalkan keluarga untuk urusan dinas dan dekat dengan anak – anak saya walaupun mereka jauh dari saya. Minimal seminggu sekali saya akan menelepon mereka menanyakan kabar terbaru. Obat rindu saya pada mereka. Jadi, apa yang membuat saya bosan? Tidak ada karena semua ini adalah kebahagiaan untuk saya” jawab beliau. Kemudian saya kembali bertanya, apa yang ingin dilakukannya dalam waktu dekat ini. Dengan mata menerawang beliau bertutur “saya ingin melihat sulung saya menikah karena dia sudah cukup umur. Saya selalu berdo’a pada Tuhan agar diberikan ksempatan untuk mendampingi anak perempuan saya menikah. Menjadi wali nikahnya dan memberikan restu mungkin adalah hal terindah di penghujung usia saya. Syukur - syukur kalau saya bisa mendampingi ketiga anak saya. Tetapi yang lebih penting untuk saya sekarang adalah selalu berdo’a agar sulung saya segera bertemu dengan jodohnya”. Saya tak kuasa berkata – kata lagi dan saya tak bisa menghentikan tangisan saya.

Kalian ingin tahu siapa lelaki dalam cerita diatas? Dialah Bapak saya. Lelaki kebanggaan saya. Lelaki yang selalu menjaga kehormatan dan kebanggan keluarga dengan segenap tetesan keringat, air mata dan tak pernah mengenal lelah untuk berusaha. Seringkali ketika beliau terlelap, saya memandangnya dan berbisik dalam hati “sudah sejauh ini perjalanannya menyertai saya. Bagaimana saya harus membalas semua ini. Bagaimana saya bisa mengembalikan yang sudah beliau curahkan. Sampai berapa lama lagi saya bisa menemaninya. Sampai berapa lama lagi saya bisa melihat senyumnya, mendengar tertawanya dan menerima wejangannya”. Kadang saya ingin mengelus tangan keriputnya, mencium tangan yang sudah berpuluh tahun tak pernah lelah membanting tulang untuk ketiga anaknya. Tangan yang selalu mengelus saya, anak perempuan sulungnya, ketika saya marah, sedih ataupun gembira.

Yang ingin saya lakukan saat ini adalah memeluknya dan berbisik “Bapak, mungkin permintaan maaf tak akan pernah cukup saya ucapkan untuk menebus segala kesalahan saya. Maaf sudah sering berkata kasar, maaf sudah sering membuat bapak bersedih walaupun saya sering tidak peduli. Maaf karena membutuhkan tenaga ekstra untuk mendidik dan membiayai saya. Maaf karena sering berbohong. Maaf untuk segala hal yang belum bisa saya lakukan sampai sekarang yaitu membuat bapak dan ibu bahagia seutuhnya. Bolehkan saya meminta satu permintaan? Saya ingin bapak menjadi wali nikah saya nanti, jika waktunya sudah tiba. Saya ingin bapak dan ibu memberikan nama untuk anak pertama saya. Saya masih membutuhkan bimbingan dan doa bapak ibu sampai kapanpun itu. Jadi tolong, jaga kesehatan bapak dan ibu ya, supaya bisa melihat saya tampil cantik memakai baju pengantin nanti. Saya selalu berdo’a dari jauh agar saya masih diberikan kesempatan untuk membuat bapak dan ibu tersenyum bahagia di sisa umur ini. Satu hal yang bapak perlu tahu, saya sangat menyayangi bapak sama halnya saya menyayangi ibu. Mungkin cara saya salah untuk menunjukkannya. Apapun itu, saya sangat mencintai bapak dan ibu”

Dan saat ini, saya benar – benar ingin ada di rumah, bertemu dengan bapak, bersujud di kakinya dan mengucapkan semua itu. Sebelum semuanya terlambat.

-Jakarta, 22 April 2010. siang bolong di kamar kos-