Tuan, saya merindumu. Sangat!

Bingung mau naruhnya diwadah apa karena di hati saya sudah ga muat.
Saya taruh di hati Tuan saja ya? Saya melihat seluruh ruang disana tertulis nama saya, karena rindu ini memang milikmu, Tuan.

Tuan, mari bermain dengan angan
Melukis indah doa untuk masa depan
Dan menyenandungkan kidung harapan
Untukku, untukmu, untuk kita, dalam satu ikatan pernikahan

Tuan, saya merindumu. Sangat!

-Jakarta, 25 Agustus 2011-
Kalau kamu membaca ini, saya memang merindumu. Sangat! 


Dear Allah,

Terima kasih untuk tidak pernah meninggalkanku. 
Terima kasih karena masih mempercayakanku untuk menyelesaikan semua amanah ujian yang Kau titipkan. 
Terima kasih karena sudah memberiku nikmat yang tidak terperi.

Tidak mudah melewati semua ini sendirian. Kadang ada perasaan tidak sanggup. Tapi setiap kali aku mengingatMu, kerikil yang bertebaran menjadi tidak berarti.
Aku selalu yakin, dimanapun Kau berada, tak pernah sedetikpun Kau berlalu dariku.

Ramadhan kali ini berbeda. Beda nikmatnya, beda cobaannya. 
Namun apapun yang terjadi, tidak pernah menyurutkan lidahku untuk menyeru Alhamdulillah dan tidak pernah menghentikan langkahku untuk menjemput rahmatMu.

Terima kasih Allah, atas kasih sayang yang tidak bertepi

Mohon restu agar aku tidak pernah bosan bersujud dengan penuh keikhlasan untuk berbincang denganMu.
Mohon kekuatan agar aku selalu mencintaiMu

فَبِأَيِّآلَاءرَبِّكُمَاتُكَذِّبَانِ
Maka nikmat Tuhan-mu yang manakah yang kamu dustakan
(QS 55:13)

-Jakarta, 19 Agustus 2011-


Tuan, ternyata aku tak mampu menahan sorot matamu. Terlalu meneduhkan.
Ketika tangan sudah memutuskan untuk melepaskan kenangan, namun hati tak sanggup meninggalkan tatapan. 
Lalu apa sebenarnya yang kau inginkan dari semua ini, Tuan?

Jika kau sendiri tak mampu menjawab, lalu kenapa kau tumpahkan segala tanya ke dalam otakku yang kapasitasnya tak seberapa.
Jika kau ingin meneruskan langkah ini menuju satu titik diujung sana, lalu mengapa kau seolah tanpa jeda berlari mengejar semua yang tak nyata.

Berhentilah sejenak disini, Tuan.
Bersandar dihatiku dan tumpahkan semua kesahmu.

Jangan pernah menatapku lagi dengan telaga matamu
Sesungguhnya yang kita perlukan adalah jeda
Untuk kita kembali bersama
Menganyam seuntai doa dan mewujudkannya menjadi nyata

Lalu, harus bagaimana Tuan?

-Jakarta, 17 Agustus 2011-
Untukmu, Tuan bersuara merdu yang sudah menemaiku berjibaku dengan angka - angka seharian penuh. Gara2 kamu, aku jadi ga konsen di meeting. Antara menganalisa angka dan menganalisa dirimu menjadi semacam candu bagiku. Thanks Tuan, sudah menjadi penyemangatku ^_^


Tuan, aku melihatmu terpaku menatap bulir hujan yang perlahan luruh ke tanah aspal didepan kedai kopi. Sudah satu jam berlalu, bahkan kopimu pun sudah mulai membeku. Namun rahang kerasmu tetap termangu menatap rintik air yang menari riang, seolah ingin mengajakmu berdendang.

Tuan, aku duduk disudut ruang, hanya mampu menatapmu bimbang. Tanganku gelisah memainkan cangkir yang tak berisi apa – apa, pun air yang tak berwarna. Menggerakkan kaki dengan irama tak berarah, gelisah. Aku mencoba bertahan hanya untuk sekedar menatap lekuk indah wajahmu, ingin merasakan setiap hembusan hangat nafasmu, walaupun semua hanya dalam imajinasiku karena kita terpisah oleh rindu.

Tuan, biarkan aku menebak apa yang engkau pikirkan. Sebenarnya aku tidak pintar membaca isi kepala, namun aku sudah terlatih meraba isi hati, apalagi hatimu. Berhentilah berpura – pura karena kita tidak lagi di era mereka, gadis berkepang dua dan anak lelaki bercelana pipa,  yang saling menyatakan cinta tanpa berani bertatap mata.

Tuan, jangan mengikat terlalu erat pada masa lalu. Nanti engkau merasa nyaman disitu dan tak mau beranjak menuju awal yang baru.

Tuan, aku bukan ingin menunggu. Aku hanya ingin mempersilahkanmu untuk menghampiriku dan melantunkan semua mimpi yang telah engkau susun dikepalamu. Meracaukan kastil asa yang kau bangun melalui lempengan doa.

Tuan, aku bukanlah cermin yang indah untukmu dan kau bukan pula cermin yang sempurna untukku. Kita hanyalah dua insan yang terperangkap bisu, saling bertumpu pada gerimis waktu.

Tuan, Tuhan tidak akan pernah menangkupkan tangan kita jika kau tidak berusaha untuk menelusupkan jemarimu diantara hangat kepalan tanganku, lalu menggenggam dan membawanya menelusuri ruang hatimu.

Tuan, aku tidak mau banyak bicara ataupun bertanya. Teriring doaku yang selalu menyelimutimu sampai saatnya nanti aku dan kamu bersatu.

Untukmu, yang selalu kusebut dengan, Tuan bersuara merdu.

-Jakarta, 8 Agustus 2011, Jam 3 dini hari. Mati gaya (lagi) ga bisa tidur-


Tuhan, seringkali aku ingin bertemu langsung denganMu dan menanyakan segala pertanyaan yang menggelayut dikepala. Seringkali aku ingin menggugat keadaan yang tidak sesederhana 1+1=2, membuatku ingin benar – benar menggugatMu. Iya, menggugatMu karena selalu memberikanku pertanyaan : kenapa, mengapa dan tak pernah Kau tuntaskan dengan petunjuk terang agar aku benar – benar mampu untuk menjawabnya.

Tuhan, tidak lelahkah Kau selalu disembah dan dipuji oleh mereka yang Kau sebut umat? Tidak jenuhkah Kau selalu dielukan oleh rengekan tangis dan pengharapan tanpa akhir yang berlabelkan janji - janji manis? Tidak merasa anehkah Engkau dipanggil dengan sebutan berbeda namun tidak pernah mengijinkan perbedaan untuk menyatu?

Tuhan, pertanyaanku sangatlah sederhana. Tolong, jawab saja secara gamblang. Tidak usah lagi memberikanku petunjuk ini itu dan segala ketidakjelasan tanda yang jelas – jelas susah terbaca. 

Tuhan, untuk kali ini, berhentilah menjadi sosok yang misterius bagiku.

Mengapa harus menciptakan perbedaan jika semuanya Kau sabdakan untuk menuju satu titik yang telah ditentukan. Mengapa Kau ciptakan masa lalu yang nyatanya tak bisa berlalu, mengejar langkahku dan tak pernah ragu untuk menjegalku yang ingin maju untuk meninggalkan segala yang bisu.

Aku hanya ingin mencinta dan dicinta,
tanpa harus melihat agama



Untukmu, yang selama ini selalu kusebut dengan nama, Tuhan


-Kamar kos, hari pertama puasa, mati gaya ga bisa tidur-