Aku berjalan pelan di lorong yang senyap ini dengan perasaan gamang. Diujung sana aku melihatmu melangkah dengan tatapan biasa. Wajahmu penuh titik air wudhu yang berjatuhan perlahan. Kita saling berpapasan dan hanya mengucapkan “Hai” tanpa perasaan apa – apa.

Dan disaat bahu kita saling menyapa, mulutku ingin membuka lebar dan berteriak “Aku sangat merindumu, kenapa tak pernah kau sadari itu.”

Namun yang terjadi adalah kita tetap melangkah.
Seolah semuanya tak pernah ada.
Rindu itu.
Rasa itu.

Aku tetap melangkah membawa buncah yang sama.
Tentang cinta tak biasa yang terpendam dalam diam.
Tentang rindu yang tersemat ditiap tetesan waktu.
Tentang rasa yang tak pernah terucapkan, mengembara ditiap tapakmu berjalan.

Dan aku akan selalu ada dengan cinta yang (tak pernah) sederhana.


-Jakarta, 10 November 2011-
Aku. Yang selalu merindu. Walaupun kau tak pernah tahu.                       



Beberapa kali aku hampir tersungkur, terkubur oleh perasaan yang membaur, saling berbentur
Beberapa kali aku nyaris menyerah, pasrah pada nada yang tak lagi bicara
Beberapa kali aku harus memendam dikedalaman yang tak hingga agar kau tak mampu meraba apa yang sebenarnya kurasa

Dan sampai dititik aku berdiri, aku hanya dihadapkan pada dua pilihan
Berjalan ke arahmu ataukah berbalik mengejar yang telah lalu

Aku memilih berjalan ke arahmu
Merajut harapan baru dan berdoa semoga langkahku tak pernah tersandung lagi oleh masa lalu

Meskipun aku dan kamu menatap bintang yang sama di langit yang serupa
Namun pikiran kita tertambat ditempat yang berbeda, lorong yang kosong

Doaku selalu satu
Semoga tujuan kita bermuara di setapak yang sama

Selayak embun yang tak pernah bosan untuk selalu kembali ke bumi
Aku. Yang selalu menunggumu. Tanpa ragu
-Jakarta, 6 November 2011-

Gambar dipinjam dari sini