Surya menghangatkan punggung, ketika sudut mata kami saling menatap. Dia bertanya dengan pandangan hampa "Jika sebatang pohon lelah berdiri dan ingin bersandar, kemana selayaknya dia harus bersandar?"

Aku menjawab dengan kelembutan api "Dia membutuhkan pohon yang lebih besar dan kokoh untuk menahan dari hempasan angin."

Dia menunduk dan menekuri bumi. Tak berapa lama rahangnya mengeras. Dengan dagu yang terangkat, dia berdiri, membalikkan badan dan perlahan langkahnya terayun. Dalam tapak yang gontai itu, kurasakan angin berjalan bersisian.

Waktu kemudian berlari.
Disuatu siang kutemukan dia berdiri tegak ditengah lalu lalang manusia. Kutepuk pundaknya dari belakang dan kupandang dengan rasa rindu mata yang terasa kosong itu. 
"Sudahkah kau temukan yang kau cari?" 
Dia mengalihkan mata kucing itu ke sudut lain dan berkata pendek "Aku tak pernah mencari apa apa." Dia kemudian berlalu bersama sunyi.

Waktu kembali berlari.
Saat kupandangi bias rembulan, dia datang dan dengan suara parau berbisik 
"Aku bohong, sebenarnya pohon yang kucari itu adalah kau. Maukah kau menopangku saat ini dan nanti, karena aku sudah lelah."
Butuh beberapa detik untuk menarik kedua ujung bibirku. Aku menempelkan kedua telapak tangan dipipinya yang dingin. "Kau pernah berjalan bersisian bersama angin, sedangkan angin tak pernah memberiku kesempatan untuk melangkah dibelakangnya. Kaupun pernah berlalu bersama sunyi. Tetapi kesunyian tak pernah berlalu dari jiwaku. Kau tahu apa yang kulakukan kemudian?"

Dia menggeleng lemah.

Aku mengangkat kedua tanganku dari pipinya dan merengkuh kedua tangannya kemudian meletakkan perlahan diatas dadaku. "Aku tetap berada ditempatku. Bahkan beberapa saat yang lalu aku baru tersadar bahwa aku tidak akan pernah bisa menjadi sebatang pohon. Bisa kau tebak siapa aku sekarang?".
Dia memberikan jawaban dengan tatapan nelangsa. Aku kembali berucap "Aku adalah tanah."
Dia ingin berucap sesuatu tapi kutahan bibirnya dengan ujung telunjuk.

"Tanah adalah pijakan pohon untuk hidup. Tanah juga tempat bersandar ketika pohon lelah berdiri dan tercerabut dari akarnya."
Perempuan itu masih memandangku dengan pusaran tanya. Dan aku pun melangkah, menapak perlahan jalan yang penuh kesunyian.

gambar dipinjam dari getty images


Saya berdiri disini, mematung dalam keheningan
Saya coba memagut sepi
Tapi, menggapainya pun saya tak sanggup
Mata saya menekuri bumi
Mencoba menelisik apa yang masih tersisa disana
Bongkahan – bongkahan kecil hati yang sudah carut marut bentuknya
Kening saya berkerut, berpikir keras bagaimana saya bisa menyatukannya kembali
Beberapa saat terpekur, saya tak mendapatkan jawaban
Maka, saya memutuskan untuk memungut satu persatu
Saya berlutut, mengulurkan tangan berusaha untuk meraih

Tiba – tiba ada suara berdecit, saya memalingkan pandangan kearah suara itu dan ternyata adalah suara pintu dibuka
Kamu sudah berdiri tegak disana, berbalut dingin
Mata kita saling menatap dengan penuh tanya
Hey, saya tak melihat ada pintu sebelumnya
Kenapa kamu bisa menemukan dan melewatinya? Bagaimana caranya?
Mata saya tak beranjak sedikitpun dari matamu, mencoba mencari jawaban
Kamu tak menjawab
Kamu berjalan mendekat dan berdiri beberapa jengkal dari tempat saya berlutut
Apa yang kamu lakukan disini, matamu bertanya
Saya sedang berusaha memungut yang tercecer, mungkin bisa memperbaiki keadaan saya saat ini, mata saya mencoba menjelaskan
Saya alihkan pandangan kearah bongkahan – bongkahan tak berbentuk
Tangan kamu mencekal kasar lengan saya dan memaksa saya untuk berdiri
Saya tersentak, tak menyangka kamu akan sekasar itu
Ketika mata kita sejajar, saya baru sadar bahwa ada gusar disana
Untuk apa kamu mengais kembali yang sudah tercecer. Lihat dan pandangi dengan cermat, Apakah kamu akan selalu seperti ini? Melewatkan hari ini hanya untuk sesuatu dari hari kemarin? LIHAT!!! kamu berteriak dan memegang dengan kuat dagu saya dan memalingkan wajah saya kearah ceceran itu

Mata saya mulai memanas dan perlahan basah
Saya tidak bermaksud kasar. Saya hanya ingin kamu tegar dan melihat sekelilingmu. Bongkahan itu berbingkai air mata dan sampai kapanpun kamu tak akan bisa menyatukannya, nada bicaramu mulai lembut
Tapi saya harus melekatkan mereka dan meletakkan kembali pada tempatnya. Saya tidak ingin kamu mendapatkan serpihan – serpihan yang tersisa, saya mencoba menjelaskan dengan mulut bergetar menahan tangis
Saya tidak pernah meminta kamu untuk memberikan pada saya dalam keadaan utuh ataupun serpihannya. Saya hanya mohon kamu jangan hilangkan lagi pintu yang dengan susah payah saya temukan. Beberapa kali kamu dengan sengaja mencoba menghilangkannya, kamu lekat memandangi wajah saya.
Saya tertunduk dengan mata membentuk anak sungai. Saya mendesah pelan. Bagaimana saya menjelaskan ini semua? Saya belum siap. Ya, saya sengaja menghilangkan pintu itu. Saya tidak ingin kamu menemukan saya dalam keadaan terpuruk.
Kamu memegang kedua tangan saya dan merengkuhnya, tatapan matamu teduh
Mari kita pergi dari sini. Jangan berlalu lagi dari sisi saya. Kamu tidak harus meyakinkan apapun pada saya. Biarkan kita melewati ini semua bersama – sama, mungkin itu akan terasa lebih nyaman. Jangan panggul sendiri beban yang terlalu berat. Biarkan saya melakukannya untuk kamu. Saya tidak akan memberikan janji apa – apa. Saya hanya bisa mengatakan, kapanpun kamu membutuhkan, saya selalu ada. Kamu adalah keindahan, itu yang terpenting. Walaupun waktu akan memudarkannya, saya tetap disisimu. Kita akan selalu berjalan beriringan sampai malaikat maut menjemput salah satu dari kita
Lama mata saya menatap tajam matamu, mencoba mencari kebohongan
Sia – sia, saya tak dapat menemukannya. Saya justru mendapatkan binar kebahagiaan disana.
Saya tidak mengeluarkan sepatah katapun
Saya hanya menggenggam erat tanganmu dan memutar badan saya agar bisa berada disisimu
Maukah kamu menjadi yang pertama untuk Saya? Kamu bertanya
Saya tetap tidak bersuara, tapi saya mulai mengayunkan langkah. Mudah – mudahan ini lebih dari sekedar jawaban
Kamu memeluk saya dari samping seraya mengecup kepala saya dan berucap Terima Kasih
Kitapun berjalan beriringan saling menautkan jemari menuju pintu yang terbuka didepan
sana
Saya percaya kamu, ujar saya dalam hati.
Sayapun tersenyum