Ny Siami tak pernah membayangkan niat tulus mengajarkan kejujuran kepada anaknya malah menuai petaka. Warga Jl Gadel Sari Barat, Kecamatan Tandes, Surabaya itu diusir ratusan warga setelah ia melaporkan guru SDN Gadel 2 yang memaksa anaknya, Al, memberikan contekan kepada teman-temannya saat Unas pada 10-12 Mei 2011 lalu. Bertindak jujur malah ajur! 

                Negara ini sudah diambang kehancuran. Bagaimana mungkin sekelompok orang memilih untuk lebih membela sebuah angka “kelulusan” yang (akan) tercetak diatas kertas tanpa berpikir panjang bahwa mereka sendiri tidak akan pernah lulus untuk sebuah nilai yang bernama kejujuran jika selalu mengatasnamakan “kepentingan” orang banyak untuk menghalalkan sebuah kejahatan. Jika dalam kelompok terkecil dalam sebuah negara, yaitu keluarga, sebuah kejujuran bisa mendapatkan pertentangan, bagaimana mungkin negara ini bisa berdiri tegak. Tidak usah jauh – jauh mata kita tertuju pada gedung megah yang berisi orang – orang yang (katanya) mewakili rakyat –entah mewakili rakyat atau mewakili nafsu menumpuk keserakahan- yang selalu berkoar tentang “prihatin dengan kondisi rakyat kecil” seolah prihatin menjadi kata kunci untuk menyelesaikan setiap permasalahan bangsa. Sungguh, yang kami perlukan adalah pemimpin yang tegas, bukan manajemen keprihatinan.               
         
                 Jika kejujuran sudah tidak mendapatkan tempatnya lagi untuk ratusan warga, lalu kemana dia harus berkelana. Haruskah kita membiarkan kejujuran terbenam menjadi tidak berarti bahkan menjadi hilang seperti tidak pernah ada dimuka bumi?. Bahkan untuk sebuah pendidikan demi kelangsungan bangsa ini, kejujuran tidak punya tempat disudut hati setiap warga yang melakukan pengusiran keluarga Ibu Siami. Pendidikan yang bisa membawa bangsa ini lebih bermartabat, pendidikan yang bisa mengentaskan kemiskinan dan pendidikan yang bisa membuka mata anak – anak kita untuk meraih mimpi mereka yang tidak bertepi. Mimpi akan sebuah harapan yang terbentang luas disana, dunia luas yang tidak hanya selebar Ujian Nasional.

Mari kita bertanya lebih dalam pada hati nurani, apa sebenarnya tujuan kita menyekolahkan anak – anak?. Apa tujuan kita mengenyam pendidikan sampai jenjang tertinggi selama ini?  Memburu hasil akhir yang maksimal dengan membutakan mata hati dan menghalalkan segala cara untuk melangkah ke jenjang selanjutnya, untuk mengisi perut, untuk menduduki posisi tertentu? Coba hentikan langkah kerakusan kita sejenak. Renungkan jika semua orang tidak pernah belajar akan suatu proses kehidupan. Bayangkan jika anak – anak selalu kita jejali dengan ambisi duniawi dan melupakan untuk mengajari mereka bagaimana harus meraihnya dengan suatu sikap yang tidak pernah berhenti untuk berjalan, yaitu kejujuran. Bayangkan mereka tumbuh dengan sikap – sikap egois yang hanya mengejar suatu nilai dengan tidak memperdulikan lagi apa yang namanya menghargai hasil kerja keras sendiri.

Apakah kita akan selalu mengatakan “Ah, tidak apa – apa mencontek sedikit”, seolah kita tidak percaya dengan kemampuan mereka, seolah kita mengajarkan bahwa perbuatan tersebut adalah sesuatu yang wajar. Apakah kita akan menumbuhkan pribadi yang gampang terkalahkan, tidak memberi kesempatan pada mereka untuk bekerja keras sendiri, menghargai kegagalan dan yang terpenting adalah berlatih jujur karena mereka akan puas dengan hasil usaha sendiri. Jatuh sesekali itu perlu agar mereka juga mengerti bagaimana rasanya bangkit, bagaimana rasanya kalah. Dan kita sebagai individu dewasa juga mampu meredam keinginan untuk menjadikan anak selalu menjadi nomer 1 dalam lingkungan mereka. Nomer satu tidak bisa diukur dari angka yang tercetak diselembar kertas. Nomer satu yang sesungguhnya akan selalu tercetak di lembar kehidupan, disetiap perbuatan baik untuk mereka yang membutuhkan.

Jika ada yang mulai menilai saya (sok) suci karena seolah tidak pernah mencontek, voilaa!! anda salah. Saya semasa mengenyam pendidikan sering banget nyontek, memberi contekan lebih seringnya. Mari baca kisah saya sebelumnya #IndonesiaJujur Sebuah Legenda ataukah Cita – cita  dan anda akan mengerti luka menganga yang tidak pernah sembuh dari hidup saya.

Hidup ini bukan hanya berisi hitam dan putih. Hidup ini berisi aneka warna yang indah,yang mereka juga berhak untuk bermain dengan warna warni didalamnya. Coba kita tengok pelangi yang akan muncul selepas hujan menghiasi bumi. Setiap warnanya memendarkan bias yang indah. Mari kita yakinkan pada diri sendiri, seorang anak pun butuh panutan untuk menuntun mereka lebih mengenal apa yang mereka butuhkan,apa minat dan bakat mereka. Bukan panutan yang selalu mengisi hari – hari mereka tentang mengejar angka tinggi di akhir ujian. Bukan panutan yang mengajarkan persaingan tidak sehat. Terlebih adalah bukan panutan yang memberi contoh tentang menghalalkan segala cara.

Inilah hidup. Inilah tentang sebuah perjalanan kejujuran. Saya yakin diluar sana banyak sekali Ibu Siami – Ibu Siami yang lain. Sekelompok orang yang selalu menggenggam erat kejujuran,mengalir kuat dalam setiap detak kehidupan mereka. Tidak pernah mau menggadaikan dengan apapun, bahkan dengan nyawa sekalipun. Mereka akan selalu memeluk kejujuran dan mengajarkan kepada anak – anak mereka, generasi penerus bangsa yang selalu haus akan pendidikan yang bermartabat. Pendidikan yang bisa menjadi tuntunan dengan orang – orang yang selalu menegakkan kejujuran didalamnya. Pendidikan dengan sistem yang bersih. Pendidikan dimana sebuah mimpi akan lahir didalamnya.

Ini bukanlah tentang menang atau kalah. Ini adalah sebuah pendidikan kejujuran. Kalau jujur, itulah arti sebenarnya kelulusan.

Dulu, ibu selalu mengatakan hal ini kalau saya akan menghadapi ujian  “Apapun nanti hasilnya, itulah kemampuan kamu. Jangan mengukur segala sesuatunya dengan nilai yang semu. Yang penting kamu sudah mengerjakan semaksimal mungkin dan semampu kamu. Sekolah itu yang penting adalah prosesnya,bukan nilai yang tercetak. Itu kenapa Bapak Ibu tidak pernah menyuruh kamu untuk menjadi seorang juara. Nilai jelek bukan berarti kamu masuk neraka. Nilai baik juga bukan ukuran kamu masuk surga. Dunia tidak akan berakhir seketika kalau kamu tidak lulus ujian”

Terima Kasih Ibu dan Bapak yang tidak pernah menuntut saya menjadi nomer satu, karena saya selalu nomer satu untuk Bapak Ibu dengan menjadi saya apa adanya.

Karena kejujuran seharusnya tidak membawa kesengsaraan, namun kejujuran seharusnya membawa ketenangan dan kebahagiaan. Demi pendidikan Indonesia


Berita tentang Ibu Siami bisa dibaca disini :
> Ada Gladi resik Nyontek Massal di UN SD | http://bit.ly/jYn8Cr
> Ny. Siami, Si Jujur yang Malah Ajur | http://bit.ly/l3Is4t
> Orang Tua AL Minta Maaf, Diteriaki Wali Murid “Tak Punya Hati Nurani” | http://bit.ly/iJvGCj
> Diusir, Ny. Siami Akhirnya Kosongkan Rumah | http://bit.ly/jvQX2O
-Jakarta, 12 Juni 2011-
Gambar dipinjam dari sini


This entry was posted on 5:23 AM and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: