Ny Siami (38) yang diusir ratusan warga setelah melaporkan guru SDN Gadel II yang memaksa anaknya, Al, memberikan contekan kepada teman-temannya saat Unas, 10-12 Mei 2011 lalu, akhirnya menuruti kemauan warga. Sementara itu, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengatakan, keluarga Siami dan putranya Al adalah keluarga jujur, tapi masyarakat yang belum siap
Membaca berita yang sedang rame – ramenya tentang Ibu Siami dan sikap jujurnya, saya seperti tersedot pada pusaran masa lalu. 6 tahun SD, SMP dan SMA masing – masing 3 tahun, 3.5 tahun D3 dan 2 tahun S1, semuanya saya lalui di sekolah Negeri terbaik. Tapi nilai kehidupan yang saya dapatkan bukanlah sesuatu yang baik. Kecurangan satu persatu diajarkan oleh mereka yang saya sebut sebagai bapak ibu guru. Ketidak jujuran yang dimulai sejak dini.
Saya berasal dari kota kecil bernama Situbondo, Jawa Timur. Bapak saya Pegawai Negeri di Pemerintahan sedangkan Ibu saya adalah Guru salah satu SMP Negeri di Situbondo. Sejak keluarga kami pindah menempati rumah sendiri,sebelumnya mengontrak, saya akhirnya punya meja belajar sendiri. Euforia seorang anak SD yang punya meja belajar sendiri adalah setiap malam belajar di meja yang sudah dihiasi tempelan padatnya jadwal pelajaran. Bapak Ibu tidak pernah menyuruh saya untuk belajar setiap malamnya, pun tidak pernah menuntut saya untuk menjadi juara kelas. Entah karena saya yang rajin atau memang (kebetulan) pintar, saya selalu menjadi juara kelas sewaktu SD. Saya selalu mewakili sekolah mengikuti perlombaan bidang studi. Dari sinilah awal mula tekanan itu dimulai.
Seorang guru saat itu selalu menekankan bahwa kemenangan itu adalah Mutlak. Tidak perlu bertanding kalau nantinya harus kalah. Bayangkan, untuk ukuran saya yang masih kelas 5 SD, saya sudah didoktrin seperti itu. Masih teringat sampai sekarang bagaimana saya sampai sakit karena saya kalah waktu perlombaan Murid Teladan tingkat karesidenan. Bapak dan Ibu sampai kewalahan menenangkan saya bahwa kalah itu adalah hal yang lumrah. “Kamu kan sudah sering menang,sekarang saatnya memberi kesempatan yang lain untuk menang”,begitu kata mereka.
Saya sampai tidak berani bertemu dengan guru yang mendoktrin saya itu. Menjadi malas untuk sekolah dan fatalnya saya menjadi seseorang yang takut gagal. Akibat dari kondisi yang seperti ini adalah jika ada teman yang minta contekan pada saya, dengan senang hati saya selalu memberi contekan. Alasan saya waktu itu adalah saya tidak mau mereka gagal. Saya ingin mereka lulus, karena saya tidak ingin mereka merasakan apa yang sudah saya rasakan tentang kegagalan. Tentang tidak nyaman dilihat sebelah mata sebagai seseorang yang kalah oleh orang lain. Sejak saat itu, saya terbiasa memberikan contekan kepada siapapun. Saya adalah tipikal orang yang susah percaya kepada orang lain. Jadi yang ada dalam otak saya waktu itu adalah lebih baik saya memberi contekan pada mereka daripada saya yang mencontek. Padahal sama – sama perbuatan yang tidak terpuji.
Masa SMP saya lalui dengan wajar, maksudnya tidak ada tekanan yang berarti seperti semasa SD. Saya tidak terlalu memikirkan bagaimana harus menjadi juara dikelas. Yang saya ingat, kelas 1 SMP saya pernah jadi juara satu dikelas bahkan masuk 10 besar pararel sekolah. Tapi semester depannya saya malah tidak masuk 10 besar di kelas. Namun saya santai saja. Itu karena lingkungan disekolah tidak pernah menuntut saya untuk selalu menjadi nomer satu, walaupun ibu saya menjadi guru disekolah tersebut. Mereka menerima saya sebagai Deny apa adanya, tanpa ada embel – embel yang lainnya.
Selepas SMP, karena nilai yang bagus, saya memutuskan untuk melanjutkan sekolah di salah satu SMA negeri terbaik di Surabaya. Petaka itu dimulai kembali disekolah ini. Sebagai anak daerah yang pindah ke kota besar, hal utama yang tersulit adalah adaptasi. Tapi masa adaptasi saya lalui dengan susah payah. Pelajaran makin sulit dan disekolah ini banyak sekali teman – teman yang pintar. “Penyakit” lama saya kambuh lagi, yaitu ketakutan akan kegagalan. Setiap ujian, saya selalu menangis ketika menelepon Ibu dan bercerita tentang bagaimana susahnya materi ujian. Ada disuatu titik saya ingin menyerah dan kembali ke Situbondo saja. Tapi ibu selalu menguatkan,”Kalau nilai kamu tidak sebagus yang diharapkan, tidak masalah. Kamu sudah belajar hal yang lain, yaitu percaya diri dan mandiri. Semuanya tidak bisa hanya diukur dengan nilai pelajaran di sekolah.Ada sekolah yang lebih luas yaitu kehidupan.” Saya selalu adem kalau mendengarkan nasehat ibu. Tapi itu tidak berlangsung lama. Kalau ada ujian, gelisah selalu saja menghinggapi. Walaupun terengah – engah belajar, 10 besar dikelas masih bisa saya raih selama ada di SMA tersebut.
Harga diri saya mulai terluka ketika sedang persiapan untuk EBTANAS (terlihat angkatan jadul ya), diantara stress dengan materi ujian yang banyak dan les tambahan yang ampun berlimpah ruah, Salah satu “oknum guru” memanggil orang – orang tertentu dan memberitahukan suatu hal yang mencengangkan. Beliau ini bisa membantu kami – kami “yang terpilih” disaat hari H ujian dengan memberikan jawaban melalui pager (makin menguatkan kalau saya angkatan tua, karena saat itu yang populer adalah pager). Syaratnya:memberi sejumlah uang (saya lupa jumlahnya) untuk membeli pager bagi yang belum punya, atau jika tidak mau membeli kami hanya diharuskan membayar dengan jumlah berbeda sebagai biaya jasa untuk jawaban. Dan yang lebih ironis lagi, yang (akan) mengirimkan jawaban adalah mahasiswa – mahasiswa suatu universitas negeri di Surabaya. Sistem kecurangan yang rapi dan kompleks.
Saya dan beberapa orang teman mulai kebingungan. Antara setuju dan tidak dengan perbuatan curang tersebut. Waktu itu adalah tahun pertama sistem baru EBTANAS diberlakukan yaitu semua jawaban adalah pilihan ganda, tidak ada jawaban isian. Walhasil, tekanan makin parah. Detik – detik terakhir, saya dan beberapa teman akhirnya menyerah untuk menyetujui awal dari kecurangan itu. Karena saya tidak mau beli pager,akhirnya saya hanya membayar untuk jasa nantinya jika ujian sudah berakhir. Satu hari menjelang EBTANAS, kami kembali dipanggil oleh Oknum. Diberi tahu kalau nanti malam jawaban akan dikirim via telpon. Jadi kami disuruh ngumpul di beberapa titik. Kalau sampai jam 2 pagi belum ada telepon,berarti jawaban akan didistribusikan via pager pada hari H. Bayangkan,malam disaat kami seharusnya istirahat, kami justru harus begadang dirumah salah seorang teman untuk menunggu jawaban. Betapa terkutuknya perbuatan saya waktu itu. Perasaan saya seperti seorang pendosa. Dikejar rasa bersalah. Bapak Ibu saya tidak tahu akan hal ini. Ternyata jawaban yang ditunggu tidak datang malam itu.
Paginya kami harus ke sekolah dengan keadaan mengantuk karena kurang tidur menunggu jawaban. Oknum sudah memberi tahu strategi distribusi jawaban di kelas. Karena teman dibelakang saya (saya masih ingat dengan jelas siapa dia) membawa pager, jadi dia yang bertugas memberikan jawaban pada saya. Detik – detik awal sangat menegangkan. Konsentrasi saya mulai terpecah karena ternyata soal-soal ujiannya susah sekali (saya lupa pelajaran apa hari pertama. Antara bahasa Indonesia atau PPKn) dan teman belakang saya juga kesulitan untuk memberi kode – kode jawaban. Entah pertolongan Tuhan atau memang saya diberikan kekuatan pada saat yang tepat, saya memutuskan untuk mengerjakan sendiri jawaban dari soal – soal tersebut. Saya sangat merasa bersalah karena sudah berniat untuk berbuat curang. Hari pertama EBTANAS saya merasa sangat buruk dan menangis seharian di kos. Menelepon ibu selama 1 jam, meminta maaf apabila nanti saya tidak bisa lulus. Saya merasa terpuruk saat itu. Untuk sisa hari, saya sudah berjanji pada diri sendiri akan mengerjakan semampu saya, semaksimal mungkin tanpa ada tindakan curang lagi. Dengan keputusan seperti itu, saya dipanggil oleh Oknum karena sikap saya yang tidak mau bekerjasama dan yang makin membuat beliau jengkel, saya tidak mau membayar uang jasa. Ngapain bayar, wong saya ngerjain semua sendiri kok. Rugi amat musti bayar. Walhasil saya pun sempat diancam beliau akan membuat jelek nilai mata pelajaran beliau untuk saya di raport. Ya sud lah ya, sudah akhir juga pakai ancam mengancam.
Setelah pengumuman NEM,Alhamdulillah nilai saya bagus walaupun sempat terkotori dengan niatan untuk berbuat curang. Saya menyesal kenapa saya sempat tidak percaya dengan kemampuan sendiri dan lebih memilih untuk berniat lewat jalan pintas. Adalah fatal ketika kita sudah tidak percaya dengan kemampuan sendiri dan hal tersebut terbaca oleh pihak – pihak yang ingin memanfaatkan untuk melakukan sebuah kecurangan.
Yang dilakukan Oknum tersebut untuk “menjerumuskan” saya tidak berhenti sampai disitu. Kali ini melibatkan orang tua saya. Jadi, suatu hari setelah EBTANAS selesai, orang tua saya memberi tahu kalau mereka disuruh datang oleh Oknum untuk membicarakan sesuatu. Mereka tidak tahu apa yang akan dibicarakan karena tidak diberitahu sebelumnya oleh Oknum. Wah, saat itu saya benar – benar ketakutan. Pikiran saya, pasti Oknum akan membicarakan kejadian waktu EBTANAS. Saya waktu itu sempat berjanji pada diri sendiri, kalau masalah EBTANAS diungkit didepan orang tua, saya akan membeberkan apa yang sudah dilakukan oleh Oknum kepada pihak sekolah dan saya akan menyeret beberapa teman yang terlibat. Bodo amat deh kalo dikatain sok pahlawan.
Ternyata dugaan saya salah besar. Bapak Ibu saya datang ke rumah Oknum. Fakta yang membuat mereka berang dan mencengangkan saya juga adalah : Oknum mengatakan bahwa beliau bisa memasukkan saya ke salah satu universitas negeri di kota itu untuk fakultas yang paling favorit dengan membayar uang 10 juta. GILA!!! Permainan apalagi ini. Saya sangat tidak habis pikir kenapa Oknum seolah tidak kehabisan ide untuk selalu “mencemari” saya. Oknum mengatakan bahwa beliau mendapat jatah untuk memasukkan 2 orang. Katanya jatah didapat dari orang dalam di universitas tersebut. Benar – benar mafia kelas tinggi.
Saya serta merta menolak dengan tegas. Pertama, untuk apa saya harus membayar mahal (untuk ukuran tahun 1999 uang segitu sangatlah banyak) agar bisa masuk ke fakultas yang saya sedikitpun tidak berminat untuk universitas yang saya juga tidak minati. Kedua, saya benar – benar merasa terhina dengan tawaran ini. Sudah 2 kali saya jadi korban menuju jalan yang curang. Saya tidak mau. Buat apa nanti saya menyandang gelar yang terhormat jika untuk langkah awal saja saya sudah melakukan kecurangan.
Dua kejadian tersebut membuat luka yang sampai sekarang masih menganga dalam kehidupan saya. Saya benar – benar terluka melihat kecurangan yang dilakukan oleh Oknum. Saya terluka karena membiarkan orang lain menginjak harga diri saya tanpa bisa melakukan perlawanan. Saya terluka karena saya tidak bisa berbuat apa – apa untuk menghentikan perbuatan terkutuk yang ada didepan mata. Apa yang dikatakan oleh banyak orang tentang “praktek” Ujian Akhir yang tidak bersih itu memang benar – benar ada karena saya mengalami sendiri. Dan kecurangan “menyuap” itu juga benar – benar ada karena saya juga mengalami sendiri.
Jadi, kecurangan itu benar adanya sejak dahulu kala dan bukanlah suatu legenda. Sedangkan kejujuran itu jangan hanya dijadikan suatu cita – cita tetapi sesuatu yang kita harus punyai didalam diri. Sesuatu yang bisa menjaga langkah kita, sesuatu yang bisa menjaga niat baik, sesuatu yang murni dibandingkan apapun. Tanpa kejujuran, mau dibawa kemana langkah kaki kita. Tanpa kejujuran, mau seperti apa hidup kita.
Saya bukan orang yang suci ataupun sok jadi pahlawan dengan membeberkan semua disini. Saya hanya ingin berbagi cerita bahwa godaan untuk berbuat curang itu akan selalu ada. Saya jujur. Saya sangat jujur bahwa mungkin lebih dari setengah usia, saya sudah mencontek ataupun memberi contekan secara sadar. Yang ingin saya tekankan disini adalah, bagaimana lingkungan juga berperan sangat besar untuk membuat seseorang tidak jujur. Godaan untuk menjadi yang terbaik ataupun tekanan karena “tidak enak kalo ga nyontek” adalah beberapa hal yang bisa membuat kita keluar jalur.
Mau jadi apa wajah pendidikan kita jika selalu diwarnai oleh perbuatan yang jauh dari kata mendidik dan terdidik.
Yang terpenting adalah bagaimana kita bisa menahan hati untuk tidak berbuat curang, karena nanti yang kita rasakan adalah semu. Apa jadinya jika saya mendapat NEM besar hasil dari curang? Pasti saya tidak akan puas. Apa jadinya kalau saya menerima tawaran untuk masuk Universitas negeri dengan membayar 10 juta?pasti hidup saya akan hambar saat ini. Walaupun nyatanya saya tidak lulus UMPTN dan harus masuk jalur D3 untuk menuju S1 di Universitas negeri yang saya idam – idamkan, saya sangat bangga karena semua hasil dari kerja keras sendiri.
Ini bukanlah bagaimana kita harus menjadi yang terbaik di akhir tujuan. Tapi ini adalah bagaimana kita bisa memaknai segala sesuatunya dengan kejujuran dan tidak pernah takut untuk mengatakan Tidak untuk segala sesuatu yang tidak sesuai dengan hati nurani.
Semoga kejujuran tidak menjadi sebuah legenda suatu hari nanti.
-Jakarta, 12 Juni 2011-
Gambar dipinjam dari sini
Gambar dipinjam dari sini
Mari kita suarakan #IndonesiaJujur dan selalu suarakan dukunganmu akan kejujuran
Berita tentang Ibu Siami bisa dibaca disini:
> Ada Gladi resik Nyontek Massal di UN SD | http://bit.ly/jYn8Cr
> Ada Gladi resik Nyontek Massal di UN SD | http://bit.ly/jYn8Cr
> Ny. Siami, Si Jujur yang Malah Ajur | http://bit.ly/l3Is4t
> Orang Tua AL Minta Maaf, Diteriaki Wali Murid “Tak Punya Hati Nurani” | http://bit.ly/iJvGCj
> Diusir, Ny. Siami Akhirnya Kosongkan Rumah | http://bit.ly/jvQX2O
> Orang Tua AL Minta Maaf, Diteriaki Wali Murid “Tak Punya Hati Nurani” | http://bit.ly/iJvGCj
> Diusir, Ny. Siami Akhirnya Kosongkan Rumah | http://bit.ly/jvQX2O
5 komentar:
minang said...
aahhhh....akhirnya tersebutkan juga angka itu..
angkatan tua banget ;p
Deny Lestiyorini said...
bwuahahahaha...aseemmm...wes tahun 1999 pager pulak...seperti masuk ke jaman Flinstone *ngikik iblis*
arief said...
salut mbak.. insyaallah beruntung sekali anak mbak nanti punya seorang ibu seperti mbak..
Deny Lestiyorini said...
Amieeeennn...Thanks mas arief untuk do'anya. Do'akan saya bisa segera bertemu dengan bapaknya (calon) anak2 saya :D
Anonymous said...
dasar oknum..!!
aku juga pernah punya pengalaman serupa, katanya ada yg bisa masukin ke kampus ternama di surabaya..harus bayar sekian puluh juta.. :(( saya bersyukur saya dan keluarga tidak tersesat..dan tidak mupeng.. kalo saya dan keluarga mupeng, pasti saya akan malu seumur hidup, malu menyuruh anak saya kerja keras.. Alhamdulilah Alloh SWT masih melindungi nurani kita ya den.. so sad this is happened.. :((