Semuanya aku mulai dengan sesuatu yang sederhana
Menyukaimu karena hal sederhana
Merindumu juga dengan cara yang sederhana
Berpikir sederhana sehingga berusaha untuk tidak membencimu karena sesuatu
Bahkan aku selalu berdoa dengan bahasa yang sederhana

Aku hanya sanggup berbuat yang sederhana

Namun jangan paksa aku untuk bermimpi yang sederhana
Karena sesuatu yang berhubungan dengan kamu, tak pernah sederhana
Pengharapanku
Setapak menujumu
Lantunan rasa yang setia bergelayut disetiap langkahku
Dan rajutan doa yang terselip dalam desah asaku

Semua aku lakukan dengan cara yang luar biasa
Karena kamu memang istimewa

Teruntukmu, yang (tak pernah lupa untuk) tersebut disetiap sujudku

-Banjarmasin, 13 Desember 2011-
Meracau dini hari

Gambar dipinjam dari sini 


Tetiba merindumu dipagi buta ini

Rindu melihat muka letihmu karena tumpukan pekerjaan
Rindu memandang tarikan ujung bibirmu ketika aku melontarkan celutukan garing
Rindu mendengar suara merdumu

Ya, aku merindu kamu

Sesederhana itu

-Jakarta, 7 Desember 2011-


Aku berjalan pelan di lorong yang senyap ini dengan perasaan gamang. Diujung sana aku melihatmu melangkah dengan tatapan biasa. Wajahmu penuh titik air wudhu yang berjatuhan perlahan. Kita saling berpapasan dan hanya mengucapkan “Hai” tanpa perasaan apa – apa.

Dan disaat bahu kita saling menyapa, mulutku ingin membuka lebar dan berteriak “Aku sangat merindumu, kenapa tak pernah kau sadari itu.”

Namun yang terjadi adalah kita tetap melangkah.
Seolah semuanya tak pernah ada.
Rindu itu.
Rasa itu.

Aku tetap melangkah membawa buncah yang sama.
Tentang cinta tak biasa yang terpendam dalam diam.
Tentang rindu yang tersemat ditiap tetesan waktu.
Tentang rasa yang tak pernah terucapkan, mengembara ditiap tapakmu berjalan.

Dan aku akan selalu ada dengan cinta yang (tak pernah) sederhana.


-Jakarta, 10 November 2011-
Aku. Yang selalu merindu. Walaupun kau tak pernah tahu.                       



Beberapa kali aku hampir tersungkur, terkubur oleh perasaan yang membaur, saling berbentur
Beberapa kali aku nyaris menyerah, pasrah pada nada yang tak lagi bicara
Beberapa kali aku harus memendam dikedalaman yang tak hingga agar kau tak mampu meraba apa yang sebenarnya kurasa

Dan sampai dititik aku berdiri, aku hanya dihadapkan pada dua pilihan
Berjalan ke arahmu ataukah berbalik mengejar yang telah lalu

Aku memilih berjalan ke arahmu
Merajut harapan baru dan berdoa semoga langkahku tak pernah tersandung lagi oleh masa lalu

Meskipun aku dan kamu menatap bintang yang sama di langit yang serupa
Namun pikiran kita tertambat ditempat yang berbeda, lorong yang kosong

Doaku selalu satu
Semoga tujuan kita bermuara di setapak yang sama

Selayak embun yang tak pernah bosan untuk selalu kembali ke bumi
Aku. Yang selalu menunggumu. Tanpa ragu
-Jakarta, 6 November 2011-

Gambar dipinjam dari sini


Pagi ini aku berjalan pelan, menyisir pematang sawah yang basah oleh air hujan yang mungkin turun semalam. Entahlah, itu adalah dugaan dari seorang pengembara yang mencoba mencari sebuah makna.

Setelah melewati gugusan padi yang telah menguning dan siap untuk dipanen, aku melihat sekelompok orang yang mungkin penduduk setempat. Mereka sedang bergerombol. Nampaknya ada sesuatu yang penting. Terlihat dari gerak mereka yang resah dan raut muka yang gelisah.

Aku melangkah untuk mendekat. Mencoba melihat dan sesaat kemudian aku terperanjat. Pemandangan didepan mata sudah menjelaskan semua. Ada jembatan kayu yang tak sepenuhnya utuh karena hanya setengah jalan yang terhubung oleh balok. Sisanya masih menganga. Aku bertanya, ada apa ini, kepada mereka yang duduk gelisah. Salah seorang dari mereka  menjawab “Kami tak mengerti apa yang diinginkan oleh pemimpin kami. Kami sudah melakukan yang terbaik, tetapi dia tetap merasa kurang baik. Kami lelah dan ingin jeda sejenak”

Oh rupanya mereka rakyat. Lalu dimana pemimpinnya?

Pandanganku menguar ke sekitar. Rupanya diujung sebelah sana duduk terpekur seorang lelaki yang sudah berumur. Aku berteriak “Hai, apakah kau pemimpin dari mereka?” dan diapun menganggukkan kepala, menjawab iya. Aku kembali berteriak “Sebenarnya apa yang terjadi disini?” Dia menjawab dengan lantang “Aku sudah capek memberikan instruksi kepada mereka. Tak ada guna karena mereka hanya mampu mencela”

Hmm,  Aku mengerti sekarang. Mereka rupanya saling merasa benar dengan apa yang telah dilakukan.

Aku menghela nafas pelan. Aku tidak mau banyak kata, takutnya malah memperburuk suasana. Aku hanya ingin berucap melalui pancaran mata, mungkin ini akan lebih indah.

Wahai Rakyat,
untuk apa selalu mencaci jika kita tak pernah unjuk diri
Buat apa bergunjing kalau memang kita nyata berkelakuan miring
Jika kata tak pernah mampu mendobrak dogma lalu mengapa kau harus bersusah payah merubuhkannya dengan teriakan tak bermakna
Jika kau merasa berteriak pun tak mempunyai ruang, kenapa tak kau tunjukkan langkah yang mantap, bukan langkah yang gamang
Jika kau merasa gelisah, resah untuk satu alasan yang tak cukup kata, lalu buat apa kau selalu menebar benci untuk sesuatu yang kau sendiri tak mengerti
Tak baik dengki pada mereka yang kau sangka berbuat keji
Tak elok selalu menghujat jika nyatanya kitalah yang tak bermartabat
Tak pantas tangan menuding kalau memang kita tak layak untuk dibela
Tak perlu melihat keatas walaupun kita merasa pantas
Jangan sesekali menyanjung diri sendiri kalau kau tak pernah mampu untuk berprestasi
Untuk apa selalu menyindir, akan membuatmu nampak seperti seorang pandir

Aku pun berjalan perlahan, bersijingkat melewati sungai dan melawan arus yang deras. Setelah sampai diujung satunya, aku hanya menatap sang pemimpin dengan tatapan dingin. Bukan aku ingin menyalahkan. Bukan pula aku berhak membela. Ini urusan mereka. Aku hanyalah pengembara.

Tetapi hatiku seolah ingin berkata kepada dia, pemimpin yang nampak berwibawa.

Wahai Pemimpin,
Rendah hatilah untuk mendengarkan mereka, rakyatmu, yang selalu bekerja dengan segenap jiwa
Selayaknya kau bangun jembatan untuk mereka, bukan tembok yang berdiri kokoh, agar mereka bisa berbicara dengan leluasa tanpa merasa rikuh.
Jangan pernah ucapkan janji yang memang tak mampu engkau tepati
Janganlah merasakan terancam karena perbedaan bukanlah suatu ancaman melainkan keindahan
Belajarlah pada pelangi, warna warninya mampu menghias angkasa selepas hujan membasahi bumi
Tak pernah akan terbentuk pelangi jika hanya satu warna yang menghiasi
Dan angkasa tak pernah merasa tersaingi karena justru pelangi mampu menghiasi dengan keindahan sejati
Jika kita mampu menyatukan perbedaan yang ada dalam sebuah wadah nyata, semuanya akan bermuara pada satu makna, bekerja dengan segenap jiwa dan cinta
Mari menjadi pemimpin yang bersahaja tetapi penuh ide nyata. Mampu berjalan didepan rakyatmu dengan penuh cinta, ataupun bersisian melangkah tanpa perlu merasa kalah, bahkan berjalan dibelakang mereka, menjaga tidak hanya menggunakan tenaga tetapi juga rasa

Ah, baiklah. Itu urusan mereka. Apalah artinya aku yang hanya seorang pengembara. Sudah saatnya aku kembali melangkah. Melanjutkan pencarianku tentang makna.
Tetapi sebelum pergi, aku ingin berucap walaupun sulit terucap, kepada pemimpin maupun rakyat yang ingin kembali membangun jembatan,  yang bukan hanya sebuah benda. Tetapi membangun kembali kepercayaan agar bisa menjadi penghubung diantara mereka

Wahai Rakyat dan Pemimpin,
Ini tidak mudah kawan
Menyatukan dua jiwa yang tak selalu sejalan
Disetiap pembenaran selalu terjadi kekhilafan, tetapi bukan untuk diulang
Mari kita bergandeng tangan, menyatukan langkah menuju satu tujuan
Saling percaya, saling menerima dan berpikiran terbuka bukanlah hal yang tak biasa juga bukan hal susah
Seharusnya pemimpin  dan rakyat itu dekat, bukan saling berteriak dari kejauhan. Bukan saling berbincang dibelakang. Bukan saling mencaci karena itu bukanlah perbuatan yang terpuji
Tenang saja, kita adalah miniatur dari alam semesta
Lebih luas dari cacian namun lebih besar dari pujian

Kita bisa maju jika kita memang kita mau
Tak perlu banyak kata, tunjukkan dengan karya nyata
Dimulai dari aku, dari kamu dan dari kita semua
Karena hanya dengan bersatu kita bisa 

-Jakarta, 18 Oktober 2011-
Dibacakan di acara Employee Day Darya Varia Group, didepan Dedy Mizwar dan seluruh karyawan



Kalau setiap hari bersenandung merdu seolah kamu ada disebelah kubikelku, padahal kamu nyata disudut gedung itu

Kalau tiap saat kupandang telepon, bertelepati dengan benda hitam yang teronggok cantik diatas meja, berharap kamu akan menghubungiku setiap waktu

Kalau setiap menit yang ada di layar laptopku adalah senyum manis yang menghias wajah angkuhmu

Kalau aku begitu kerepotan memilih baju apa yang akan dikenakan meskipun aku dan kamu tidak akan berkencan melainkan bertemu karena pekerjaan

Kalau jauh – jauh hari aku sudah merencanakan akan memberimu buah tangan apa, padahal jadwal keluar kota saja belum ada

Kalau angka – angka menyebalkan didepan muka berubah menjadi puisi cinta, hanya karena kamu duduk tepat didepan mata

Kalau setiap pagi aku selalu mencari alasan menghubungimu, hanya sekedar ingin mendengar suara merdumu

Kalau tiba – tiba menyukai pekerjaan yang selama ini aku benci hanya karena ini adalah satu – satunya alasanku untuk selalu dekat denganmu

Kalau aku begitu cepat marah pada wanita – wanita yang berusaha menarik perhatianmu walaupun aku tak mampu berbuat apa – apa, hanya terdiam disudut asa

Kalau aku mampu mengingat setiap detil pembicaraan denganmu, setiap canda yang terlontar dariku, meskipun aku dan kamu selalu membahas hal yang sama, yaitu angka

Kalau menjadi wanita paling bahagia didunia ketika kamu berjanji akan mentraktirku, walaupun ini masih dalam taraf janji dan tak tahu kapan akan terjadi

Kalau aku dengan tulus memberimu perhatian, meskipun kamu tidak pernah tahu, bahkan mungkin kamu tidak pernah merasa kalau aku ada

Kalau disetiap aku ingin berucap “Hai, aku menyukaimu,” tapi yang terlontar adalah “Hai, aku tidak mengerti dengan rumus – rumus ini,” seolah kata yang kupersiapkan tercekat diujung kerongkongan

Kalau aku mulai mengganggu teman sebelahku dengan celotehan tak bermutu tentang kamu, ya kamu, siapalagi kalau bukan kamu, disetiap waktu

Kalau aku mampu menahan kesal ketika kau mengangkat telponku dan bertanya “ini siapa ya?” meskipun kita sering saling berkirim pesan dan berpura seolah semuanya tak apa

Kalau akhirnya disuatu siang aku menangis disudut ruang hanya karena begitu merindumu dan tak tahu apakah benar ini rindu ataukah menahan cemburu

Kalau pada suatu waktu aku begitu membencimu dan bersumpah untuk mengubur perasaanku. Namun dihari yang sama aku kembali tertawa riang dan melupakan semua yg telah kamu lakukan

Kalau aku mendadak menjadi bisu tak mampu melucu saat aku dan kamu duduk dalam satu ruangan, saling berhadapan. Dan setelahnya aku mengutuk semua perbuatan bodohku

Kalau aku menggila karena rindu, padahal kamu hanya pergi seminggu

Kalau setiap jam yang bercokol di otakku adalah kamu, kamu dan kamu!!


(Mungkin) Aku jatuh cinta karena mampu melakukan beribu cara untuk membuatmu terpana

(Mungkin) Aku jatuh cinta jika aku mulai merasa semua yang berhubungan denganmu adalah hal yang tak biasa

(Mungkin) Aku jatuh cinta jika aku tak perlu lagi alasan kenapa aku mencinta
Karena cinta tak membutuhkan tanya, tak memerlukan logika, apalagi batas rasa

(Pasti) Aku jatuh cinta jika setiap waktu selalu  berdoa pada pemilik angkasa untuk merubah aku, kamu, menjadi kita

-Jakarta, 26 September 2011, 23:59-
Untukmu, Tuan bersuara merdu, yang semakin membiusku dengan pesona angkuhmu


Tuan, saya merindumu. Sangat!

Bingung mau naruhnya diwadah apa karena di hati saya sudah ga muat.
Saya taruh di hati Tuan saja ya? Saya melihat seluruh ruang disana tertulis nama saya, karena rindu ini memang milikmu, Tuan.

Tuan, mari bermain dengan angan
Melukis indah doa untuk masa depan
Dan menyenandungkan kidung harapan
Untukku, untukmu, untuk kita, dalam satu ikatan pernikahan

Tuan, saya merindumu. Sangat!

-Jakarta, 25 Agustus 2011-
Kalau kamu membaca ini, saya memang merindumu. Sangat! 


Dear Allah,

Terima kasih untuk tidak pernah meninggalkanku. 
Terima kasih karena masih mempercayakanku untuk menyelesaikan semua amanah ujian yang Kau titipkan. 
Terima kasih karena sudah memberiku nikmat yang tidak terperi.

Tidak mudah melewati semua ini sendirian. Kadang ada perasaan tidak sanggup. Tapi setiap kali aku mengingatMu, kerikil yang bertebaran menjadi tidak berarti.
Aku selalu yakin, dimanapun Kau berada, tak pernah sedetikpun Kau berlalu dariku.

Ramadhan kali ini berbeda. Beda nikmatnya, beda cobaannya. 
Namun apapun yang terjadi, tidak pernah menyurutkan lidahku untuk menyeru Alhamdulillah dan tidak pernah menghentikan langkahku untuk menjemput rahmatMu.

Terima kasih Allah, atas kasih sayang yang tidak bertepi

Mohon restu agar aku tidak pernah bosan bersujud dengan penuh keikhlasan untuk berbincang denganMu.
Mohon kekuatan agar aku selalu mencintaiMu

فَبِأَيِّآلَاءرَبِّكُمَاتُكَذِّبَانِ
Maka nikmat Tuhan-mu yang manakah yang kamu dustakan
(QS 55:13)

-Jakarta, 19 Agustus 2011-


Tuan, ternyata aku tak mampu menahan sorot matamu. Terlalu meneduhkan.
Ketika tangan sudah memutuskan untuk melepaskan kenangan, namun hati tak sanggup meninggalkan tatapan. 
Lalu apa sebenarnya yang kau inginkan dari semua ini, Tuan?

Jika kau sendiri tak mampu menjawab, lalu kenapa kau tumpahkan segala tanya ke dalam otakku yang kapasitasnya tak seberapa.
Jika kau ingin meneruskan langkah ini menuju satu titik diujung sana, lalu mengapa kau seolah tanpa jeda berlari mengejar semua yang tak nyata.

Berhentilah sejenak disini, Tuan.
Bersandar dihatiku dan tumpahkan semua kesahmu.

Jangan pernah menatapku lagi dengan telaga matamu
Sesungguhnya yang kita perlukan adalah jeda
Untuk kita kembali bersama
Menganyam seuntai doa dan mewujudkannya menjadi nyata

Lalu, harus bagaimana Tuan?

-Jakarta, 17 Agustus 2011-
Untukmu, Tuan bersuara merdu yang sudah menemaiku berjibaku dengan angka - angka seharian penuh. Gara2 kamu, aku jadi ga konsen di meeting. Antara menganalisa angka dan menganalisa dirimu menjadi semacam candu bagiku. Thanks Tuan, sudah menjadi penyemangatku ^_^


Tuan, aku melihatmu terpaku menatap bulir hujan yang perlahan luruh ke tanah aspal didepan kedai kopi. Sudah satu jam berlalu, bahkan kopimu pun sudah mulai membeku. Namun rahang kerasmu tetap termangu menatap rintik air yang menari riang, seolah ingin mengajakmu berdendang.

Tuan, aku duduk disudut ruang, hanya mampu menatapmu bimbang. Tanganku gelisah memainkan cangkir yang tak berisi apa – apa, pun air yang tak berwarna. Menggerakkan kaki dengan irama tak berarah, gelisah. Aku mencoba bertahan hanya untuk sekedar menatap lekuk indah wajahmu, ingin merasakan setiap hembusan hangat nafasmu, walaupun semua hanya dalam imajinasiku karena kita terpisah oleh rindu.

Tuan, biarkan aku menebak apa yang engkau pikirkan. Sebenarnya aku tidak pintar membaca isi kepala, namun aku sudah terlatih meraba isi hati, apalagi hatimu. Berhentilah berpura – pura karena kita tidak lagi di era mereka, gadis berkepang dua dan anak lelaki bercelana pipa,  yang saling menyatakan cinta tanpa berani bertatap mata.

Tuan, jangan mengikat terlalu erat pada masa lalu. Nanti engkau merasa nyaman disitu dan tak mau beranjak menuju awal yang baru.

Tuan, aku bukan ingin menunggu. Aku hanya ingin mempersilahkanmu untuk menghampiriku dan melantunkan semua mimpi yang telah engkau susun dikepalamu. Meracaukan kastil asa yang kau bangun melalui lempengan doa.

Tuan, aku bukanlah cermin yang indah untukmu dan kau bukan pula cermin yang sempurna untukku. Kita hanyalah dua insan yang terperangkap bisu, saling bertumpu pada gerimis waktu.

Tuan, Tuhan tidak akan pernah menangkupkan tangan kita jika kau tidak berusaha untuk menelusupkan jemarimu diantara hangat kepalan tanganku, lalu menggenggam dan membawanya menelusuri ruang hatimu.

Tuan, aku tidak mau banyak bicara ataupun bertanya. Teriring doaku yang selalu menyelimutimu sampai saatnya nanti aku dan kamu bersatu.

Untukmu, yang selalu kusebut dengan, Tuan bersuara merdu.

-Jakarta, 8 Agustus 2011, Jam 3 dini hari. Mati gaya (lagi) ga bisa tidur-


Tuhan, seringkali aku ingin bertemu langsung denganMu dan menanyakan segala pertanyaan yang menggelayut dikepala. Seringkali aku ingin menggugat keadaan yang tidak sesederhana 1+1=2, membuatku ingin benar – benar menggugatMu. Iya, menggugatMu karena selalu memberikanku pertanyaan : kenapa, mengapa dan tak pernah Kau tuntaskan dengan petunjuk terang agar aku benar – benar mampu untuk menjawabnya.

Tuhan, tidak lelahkah Kau selalu disembah dan dipuji oleh mereka yang Kau sebut umat? Tidak jenuhkah Kau selalu dielukan oleh rengekan tangis dan pengharapan tanpa akhir yang berlabelkan janji - janji manis? Tidak merasa anehkah Engkau dipanggil dengan sebutan berbeda namun tidak pernah mengijinkan perbedaan untuk menyatu?

Tuhan, pertanyaanku sangatlah sederhana. Tolong, jawab saja secara gamblang. Tidak usah lagi memberikanku petunjuk ini itu dan segala ketidakjelasan tanda yang jelas – jelas susah terbaca. 

Tuhan, untuk kali ini, berhentilah menjadi sosok yang misterius bagiku.

Mengapa harus menciptakan perbedaan jika semuanya Kau sabdakan untuk menuju satu titik yang telah ditentukan. Mengapa Kau ciptakan masa lalu yang nyatanya tak bisa berlalu, mengejar langkahku dan tak pernah ragu untuk menjegalku yang ingin maju untuk meninggalkan segala yang bisu.

Aku hanya ingin mencinta dan dicinta,
tanpa harus melihat agama



Untukmu, yang selama ini selalu kusebut dengan nama, Tuhan


-Kamar kos, hari pertama puasa, mati gaya ga bisa tidur-


Dibawah ini adalah tulisan Link dari Blog

Saya Link kembali tulisan Planius. kali ini adalah perjalanan kami (Saya, Pla dan beberapa teman backpacker) yang "Menjelajah" indahnya alam Garut dan sekitarnya.
 
Untuk perjalanan kali ini tugas saya tetap sama, menjadi bendahara. sedangkan Pla adalah sebagai pencerita. itulah kenapa saya meminta ijin Pla untuk share di blog saya
Thanks Pla untuk ijinnya :)
 
Selamat membaca
***

Perjalanan ke Garut terdiri atas 3 kloter, kloter pagi, siang, dan malam. Pembagian kloter based on kesibukan masing-masing peserta, ada yang harus kerja di hari Sabtu Ceria :) Kloter pagi itu gw, mba Anita, mba Eko, Iem, dan mba Deny, dengan menumpangi mobil mba eko dengan driver sewaan. Kloter kedua, Faisal sendiri dengan menumpangi bis dari Lebak Bulus dan tiba di Garut sekitar jam setengah 6 sore. Kloter ketiga, Ryan, Kikid, dan Pipiet, dengan menumpangi mobil Ryan dengan driver Ryan sendiri dan tiba di Garut sekitar jam 12-an malam.

Kloter pertama, janjian berangkat dari mal Ambasador, dan gw yang berangkat dari Depok, nungguin di Tanjung Barat depan gedung ANTAM. Start dari Jakarta terhitung jam 7 kurang lima menit. Langsung masuk tol Tanjung Barat sampai Tol Cileunyi Bandung. Keluar tol mulai liat-liat petunjuk jalan menuju Garut. Belum pernah dari tim kloter pagi yang pernah ke Garut bawa mobil sendiri bahkan driver nya sendiri. Jadilah kita bermodal peta dan petunjuk jalan serta bis-bis yang melaku menjadi petunjuk arah. Ga susah menemukan jalan menuju Garut.

Candi Cangkuang
Tempat pertama yang kami kunjungi adalah Candi Cangkuang yang terletak di tengah Situ Cangkuang. Candi Cangkuang berada di desa Leles, sekitar 14 km sebelum kota Garut. Petunjuk arah yang kami gunakan adalah peta wisata yang gw punya, dan peta wisata Garut yang gw foto dari billboard yang ada di pinggir jalan memasuki wilayah Garut, plus modal berhenti di setiap keramaian menanyakan orang-orang di jalanan agar tidak kelewatan. Dari desa Leles dekat dengan pasar ada persimpangan di sebelah kiri. Jalan ini sempit, jika dilewati 2 mobil dari arah yang berbeda mobil yang satu harus berhenti untuk minggir dulu. Jarak dari simpang pasar menuju ke Situ Cangkuang sekitar 3km.

Situ Cangkuang terletak dipinggir jalan desa Leles, jadi tidak begitu sulit untuk menemukan lokasi situ. Lokasi parkir lumayan luas, ketika kami kesana, tidak begitu banyak mobil yang parkir, apa karena kepagian atau memang bukan hari berlibur :D. Untuk masuk lokasi Situ Cangkuang dipungut biaya retribusi sebesai Rp. 2.000/orang, cukup murah. Untuk menyebrang ke lokasi candi disedikan perahu rakit yang dikenakan biaya per orang sebesar Rp 3.000 untuk pulang pergi. Jarak tempuh hanya berkisar 100m. Perahu rakit akan berangkat jika penumpang telah berjumlah 20 orang. Karena tidak mau berlama-lama menunggu kami memutuskan untuk bergabung dengan satu keluarga yang juga males nungguin sampai penuh 20 orang. Tawar menewar ternyata harga ga turun dari 60.000/perahu. Tetep aja 3.000 x 20 orang nih. Karena kami lebih sedikit cuma ber-enam, kami bayar Rp. 25.000 keluarga si Bapak 35.0000. Sip! Berangkat… View nya bagus dengan latar belakang gunung, yang gw ga tau itu gunung apa. Bentuk perahu rakitnya pun unik, terbuat dari susunan bambu yang melintang. Perahu pun menjadi tempat foto narsis yang pertama. :)

Candi Cangkuang sendiri hanya terdiri dari satu candi. Umumnya seperti candi-candi yang lain, candi Cangkuang berbentuk persegi empat yang tidak ada ciri khas tersendiri. Candi Cangkuang ditemukan tahun 1966, diteliti dan digali selama 2 tahun dan dipugar tahun 1974-1976. Dibalik Candi Cangkuang terdapat makam Eyang Embah Dalem Arif Muhammad, yang gw juga ga tau sih, beliau ini siapa. Pada awal ditemukan lokasi Candi Cangkuang ini dikelilingi oleh Situ Cangkuang, jadi seperti pulau ditengah danau. Namun, sekarang Situ Cangkuang tak lebih dari seperempatnya, lokasi situ yang dangkal telah dimanfaatkan petani sebagai lahan per-sawah-an mereka. Di lokasi candi juga banyak ditemukan makam warga.

Di lokasi lain, terdapat Komplek Kampung Adat Kampung Pulo. Di lokasi ini terdapat beberapa rumah adat masyarakat setempat, dan sebuah mesjid kecil yang menyerupai rumah, sangat tidak mirip dengan mesjid, hanya ada plank di depan rumah dengan tulisan “Mesjid Kp. Pulo”.

Di lokasi Candi Cangkuang banyak penduduk yang jualan cinderamata yang mirip dengan daerah lain dari segi jenis cinderamata yang dijual. Yang membedakan adalah, adanya miniatur dari perahu rakit yang terbuat dari susuanan bambu, harga sebuah miniatur rakitan perahu ini sebesar Rp. 10.000. Ada juga penjual jagung bakar dan kerupuk yang terbuat dari ketan.

Ketika hendak pulang nyebrang lagi ke pintu gerbang, keluarga si Bapak yang bareng dengan kami udah gelar tiker…kelihatannya lama nih. Kita akhirnya nego dengan tukang rakit untuk nganterin kami lebih dulu dengan extra cost sebesar 10.000, ya ga pa pa lah, dari pada wasting time nungguin tuh keluarga selesai ngaso disana.

Sehabis dari Candi Cangkuang, makan dulu di Rumah Makan Sari Cobek. Maknyus…walau pelayanan agak lelet dan sempet hendak membuat mba Anita emosi jiwa… hehehe… peace mba Nit…gw setuju kok, masalah perut ga ada kompromi hahahaa…

Situ Bagendit
Tujuan berikutnya adalah Situ Bagendit. Situ Bagendit merupakan danau terluas yang terdapat di daerah Garut. Lokasi danau ini melewati daerah Cipanas, Garut, kemudian di persimpangan pilihan jalan hanya kiri dan kanan, kanan menuju Garut kota dan kiri menuju daerah Situ Bagendit, jaraknya sekitar 12 km dari persimpangan teresbut.

Untuk masuk lokasi Situ Bagendit, dipungut biaya retribusi sebesar Rp.3.000/orang. Memasuki lokasi Situ Bagendit ini sendiri sudah udha ga mood sebenarnya, sudah terlihat ketidakrapihan dan ketidakbersihan lokasi. Memasuki lokasi banyak tenda-tenda pedagang yang mengganggu pejalan kaki. Situ nya juga ga bersih, banyak rumput liar di danau nya. Sayang sekali pemerintah kota Garut tidak memperhatikan objek wisata ini, padahal view nya bagus… Taman rekreasi dengan kereta api mini yang dijadikan sebagai sarana untuk mengelilingi lokasi kurang terawat. Tamannya juga kotor, ga banget deh… Ada juga disediakan sepeda air yang bisa digunakan untuk bersantai mengelilingi danau.

Di lokasi situ ini Iem malah ketemu teman kuliahnya yang juga sedang liburan di situ ini. Temannya sih orang Garut, jadi wajar aja, tapi suatu kejadian yang unik juga. Gw sempet bilang ama Iem, “jangan sampai ketemu orang Sidikalang aja disini” hahhaa… Jauh-jauh ke Garut ketemu orang Sidikalang kan kocak juga.

Karena tempat ini tidak begitu menarik, kami ga betah berlama-lama disini. Sebenarnya dari plan sebelumnya untuk hari ini tujuan terakhir adalah pemandian air panas Cipanas Garut, tapi karena masih jam 2. Kami pun mencari tempat lain di buku sakti dan ada tulisan “Kawah Kamojang”. Bersumber dengan bertanya kepada orang-orang sekitar, kami pun meluncur menuju Kawah Kamojang.

Kampung Sampireun
Saat menuju Kawah Kamojang, ngobrol-ngobrol di mobil. Mba Anita mengusulkan singgah di Kampung Sampireun karena penasaran sekeren apa sih Kampung Sampireun karena ketika mendengar talk show di salah satu radio swasta Jakarta *halah!*, ada penelpon yang menjawab “Kampung Sampireun” ketika ditanya pertanyaan “Tempat apakah yang paling kamu ingin kunjungi di dunia ini??”. Jawaban si penelpon membuat mba Anita penasaran habis ada apakah di kampung Sampireun sampai membuat sipenelepon menjadikan Kampung Sampireun sebaagai the most interesting place to be visited in the world… Ga ada tempat lain apahhh?? Di Indonesia sendiri kayaknya masih banyak banget tempat yang jauh lebih menarik dan jauh lebih woowwww…dari Kampung Sampireun. Ga pernah liat di TV atau baca tentang Raja Ampat di Papua, Karimun Jawa di utara Semarang, Gili Trawangan di Lombok, atau Ujung Genteng di selatan Jawa Barat kali tuh orang.

Petunjuk arah menuju Kampung Sampireun sangat jelas, setiap persimpangan ada petunjuk arah yang dibuat sendiri oleh pengelola dan jarak tempuh-nya. Kampung Sampireun dari design memang cukup unik. Untuk menuju kamar-kamar penginapan di sediakan perahu khusus, karena kamar-kamar terletak di atas danau di pinggiran danau buatan. Danau ga terlalu begitu luas. Harga penginapan di Kampung Sampireun juga mahal banget…rata-rata di atas sejuta…kalo kata mba Anita mending nginep di Marriot dengan harga segitu hahahaa…

Foto-foto bentar di Kampung Sampireun sebagai pertanda udah pernah “mengunjungi” Kampung Sampireun. Gw sih sempet meninggalkan jejak di Kampung Sampireun dengan nongkrong bentar di toilet, mules banget soale dah ga kuat hehehe… *jorok deh lu Pla!!!* Toilet nya bersih dan unik, dari bilik bambu yang modern… :D

Kawah Kamojang
Perjalanan dilanjut menuju Kawah Kamojang. Dari Kampung Sampireun tinggal lurus terus mengikuti jalan besarnya. Perjalanan mulai mendaki dan berkelok-kelok. View-nya keren… ga heran kalau di bilang Garut itu Swiss Van Java, setuju! Keren banget view sepanjang perjalanan. Kiri gunung kanan gunung depan gunung belakang gunung. Sip margosip top markotop dah!!! Jendela mobil pun di buka untuk menikmati udara segar pegunungan Garut… mauliate ale Debata…

Memasuki wilayah Kamojang, terdapat PLTG, Pembangkit Listrik Tenaga Gas, punya Pertamina. Kawasan PLTG ini rapi dan bersih bangetttt… Terawat banget deh… Cerobong-cerobong pembangkit listrik dan peralatan yang besar-besar membuat kawasan ini menjadi keren untuk di lihat. Pipa-pipa besar berwarna silver yang mengalirkan gas ke pembangkit juga membuat tempat ini seperti dipageri. Di kiri kanan jalan kadang terlihat gas-gas tersembut dari tanah. Agak-agak horor juga lewat sini. Gimana kalo ada pipa yang bocor atau tiba-tiba meledak…jangan sampai deh…

Kawah Manuk
Jalan beraspal berujung dengan jalanan berbatu yang lebih cocok buat mobil off-road. Setelah jalan berbatu disebelah kiri terdapat kawah pertama. Kawah Manuk! Kawah ini kawah berwarna hitam pekat yang mengeluarkan udara panas. Di beberapa bagian masih terlihat letupan-letupan gas kecil. Aroma belerang mulai tercium di kawah ini. Foto-foto narsis dimulai…

Perjalanan dilanjutkan, sekitar 200m kedepan terdapat parkiran dan pintu gerbang yang dijaga petugas. Retribusi 5.000/orang. Turun dari parkiran semangat berjalan kaki menuju kawah berikutnya. Gumpalan-gumpalan asap yang terlihat di udara membuat semangat terpacu untuk segera berada di kawah. Aliran air panas terlihat di sisi sebelah kiri jalan menuju kawah.

Kawah Kereta Api
Kawah berikutnya adalah kereta api. Disebut kawah kereta api karena kawah ini menyemburkan gas dari lobang kecil berdiameter sebedar botol Aqua 600ml, yang kalo di halangi dengan benda lain akan mengeluarkan bunyi seperti bunyi kereta api, tuuttt…tuttt…tuttt…. Seorang kakek tua begitu melihat rombongan kami datang langsung masuk ke kawah yang di pagerin untuk beraksi di depan kami, pertama dengan memasukkan boto-botol kosong ke mulut kawah yang akhirnya terlempar jauh ke atas… kemudian menutup buka lubang kawah sehingga mengeluarkan bunyi tut tut kereta api, trus membakar sebatang rokok di kawah yang berupa gas sehingga asap kawah menjadi besar, aksi ini dilakukan berulang-ulang untuk menarik perhatian pengunjung yang dateng. Ada rombongan lain dibelakang kami yang jauh lebih narsis dari kami, mereka langsung nyerobot wilayah kawah kereta api untuk foto-foto, sial!!! Padahal kami belum kelar. Ibu-ibu centil juga langsung masuk ke kawah untuk foto-foto dengan bapak tua tadi dan beraksi bareng si pak tua. Kami pun tersingkir dari kawah kereta api.

Kawah Ujung
Nama kawahnya gw ngasal aja, ga ada namanya sih, cuma letaknya di ujung hehehe… Kawah ini agak berantakan, ada kawah yang mengeluarkan air panas, jadi tersembur-sembur keluar gitu dari himpitan batu sesuai tekanan bumi. Ada 2 tempat seperti itu, satu lumayan gede, yang jarak semburan airnya jauh, satu lagi kecil, yang semburannya paling berjarak 1 meter. Ada juga semburan gas panas dimana diatasnya ditaro kayu yang kayu nya bisa kebakar… Banyak pengunjung yang senang foto dibagian ini, karena lagi-lagi si Bapak tua meniup gas dengan bantuan rokonya yang menyebabkan asap mengebul dan orang-orang heboh foto dibalik asap tebal… *including me ;)*

Balik dari Kawah Kamojang udah mulai gelap sekitar jam 5:30 gitu, o’o…kabut banget di jalan, jarak pandang ga nyampe 5 meter. Mobil melaju pelan-pelan sambil berdoa mohon keselamatan, daerah pegunungan, sebelah kanan jurang cuy… Saat jalan balik, Faisal nelpon ternyata dia udah nyampe terminal Garut. Kita meluncur ke Terminal Garut, sejam kemudian baru nyampe, maaf Sal… Jalanan hujan lagi, so super hati-hati bro…

Air Panas Cipanas, Garut
Dari terminal Garut dilanjutkan menuju daerah Cipanas, sesuai rencana kami akan menginap di daerah Cipanas sekalian berendam air panas. Kami belum booking penginapan sebelumnya, karena berdasarkan informasi yang gw baca di blog orang-orang, banyak penginapan mahal dan murah tersebar di sepanjang jalan di daerah Cipanas. Di ujung jalan banget, kami parkir untuk nyari penginapan, hal menyebalkan langsung dateng. Para calo vila mendekati kami bak artis ibukota yang datang untuk konser, para calo vila mengejar-ngejar kami seolah mau meminta tanda tangan *lebayyy abisss*. Para calo berusaha memikat hati kami dengan memberikan tawaran-tawaran ukuran kamar, not price, padahal concern utama kami adalah harga. Gw dan mba Eko yang turun nyari penginapan. Jalan sendiri keluar masuk ke beberapa penginapan. Karena kami ber-7 termasuk driver kami berusaha mencari kamar yang cukup besar agar dapat menampung kami bertujuh, jadi sharing kamarnya murah hehee… Rata-rata harga kamar yang bisa diisi berempat seharga 200.000,- (2 kasur dan kamar mandi dalam). Setelah diskusi dengan team daerah tersebut kurang nyaman karena dekat tempat parkir dan berisik banget dan kemahalan juga, karena denger-denger juga penginapan disana biasa juga range harganya 100-150.000,-. Kami memutuskan mencari penginapan agak ke bawah yang jauh dari keramaian. Selama nyari eh malah lebih mahal-mahal lagi hahaha… Harus sabar… akhirnya kami makan dulu, nyari tempat makan ke arah kota Garut.

Setelah makan akhirnya kami mendapatkan penginapan dengan harga sama dengan harga yang kami dapat di atas tadi hehhee… sekamar Rp. 200.000,- satu kamar, di isi ber-enam plus satu extra bed. Driver ga mau gabung, padahal udah dipesenin extra bed, dia milih tidur di mushola.

Jam 12-an, kloter malam tiba di Garut, tidurku tergangguuu… Gw yang ditelpon-telpon mulu, dasar kalian ini…!!! Mereka mesen 1 kamar khusus karena gimana pun kamar kami ga mungkin cukup untuk ditambah 3 orang secara satu kasur aja udah diisi bertiga…

Gunung Papandayan
Pagi-pagi jam 4:30, Kikid udah miskol-miskol gw untuk bangunin berangkat ke Papandayan. Langsung krasak-krusuk semua, kecuali mba Anita dan Mba Eko yang masih ngantuk, kami siap-siap nge-sun rise di Gunung Papandayan. Gunung Papandayan berjarak 22 km dari kota Garut, Cipanas ke Garut 5 km, jadi 27 km. Kami dengan menumpangi mobil Ryan ber-7 menuju Gunung Papandayan. Pagi-pagi yang dingin hoaahmmm… Jalanan mendaki dan lumayan berliku apalagi setelah mendekati Gunung Papandayan. Apa daya, ternyata kami tak sempat nge sun rise di Gunung Papandayan, ditengah perjalanan matahari dengan tersipu malu muncul di balik awan yang tipis, kerennnn…. Padahal ga jauh lagi udah nyampe di kawasan kawah Papandayan. Gagal nge-sunrise di Gunung Papandayan!

Kawasan Gunung Papandayan sudah menjadi objek wisata yang umum bagi para backpacker/pelancong. Untuk para pendaki pemula, Gunung Papandayan bisa dijadikan alternatif. Mobil bisa tiba di parkiran luas dekat dengan kawah. Hiking menuju kawah hanya memakan waktu paling lama 1 jam, itu pun udah berhenti beberapa kali untuk foto-foto. View Kawah Papandayan pagi itu keren banget, langit yang biru bersih dan gumpalan asap kawah dan warna kuning kecoklatan tanah dan tebing membuat Gunung Papandayan sangat keren menjadi tempat untuk foto.

Secara alami team pendaki terbagi jadi 2 team, gw, Iem, Fai, mba Deny menjadi team pertama yang lebih dulu naek. Team kedua Ryan, Kikid, dan Pipit menjadi team kedua. Secara alami karena kami berempat mendaki secara seksama *halah!* dan kalau berhenti ga lama untuk foto-foto. Sementara team kedua foto di satu tempat lama nya ampun-ampun. Jadilah kita bosen nungguin dan melanjutkan perjalanan menuju puncak…

Mendaki jangan buru-buru, karena akan menguras banyak tenaga, bawa bekal secukupnya terutama air minum. Jangan memaksakan kalau cape, mending ajak team untuk istirahat bentar. Team kami sendiri berhenti beberapa kali dibeberapa tempat karena cape dan mulai morning call. Kawah Papandayan ada beberapa tempat, keren… Tapi hati-hati saat mendaki, jangan sampai kepeleset dan jatuh ke kawah, karena kata seorang bapak waktu lewat disana, ada yang jatuh beberapa waktu yang lalu dan kakinya melepuh…wah…hati-hati teman!

Melewati kawah kami team pertama mencoba untuk bergerak terus menuju puncak, katanya sih ada padang Edelweis disana. Pendakian makin berat, mayan curam. Kami extra hati-hati untuk mendaki. Jangan salah menginjak batu ya, tiba-tiba nginjek dan batu ga kuat bisa jatuh kepeleset, seperti yang kami alami beberapa kali. Mendekati puncak Faisal sudah tak kuat menahan panggilan alam. Dengan bermodal sisa air minum dia pun melaksanakan panggilan alam di puncak Gunung Papandayan, awal nya ga pede, sampai kasih peringatan ke kami bertiga, “Jangan liat gw boker ya!!! Jangan liat ke belakang!!!” Halah,,,ngapain juga ngeliatin orang boker, dasar lu Sal ah….ada-ada aja. Seru juga ya boker di puncak gunung, dengan pemandangan alam yang keren. Pasti banyak inspirasi-nya tuh…

Gw ama Iem naik lebih ke atas lagi. Mencoba melihat ada apa dibalik sana. Ternyata masih ada jalur pendakian lain dan tempat camping. Kami juga belum menemukan padang Edelweis yang disebut-sebut. Sebenarnya ada jalur pendakian lain untuk menuju kawah Papadayan ini di dareah Cikajang, waktu tempuh dari tempat ini 3 jam.

Ngaso di Puncak, beberapa waktu lama kemudian team kedua nyampe juga…Lamaaaa…dasar team narsis abisss… Setiba mereka di atas, ga lama langsung turun, kami udah bosen nungguin di atas dan panas terik matahari mulai berasa di kulit. Seperti biasa, jalan turun itu lebih cepat dibanding pada saat naik, tapi lebih sulit karena harus ngerem kaki dan membuat kaki jadi pegel abis.

Tiba diparkiran langsung mesen Indomie rebus dobel pakai telor…wah sedaaaaappp… Sehabis makan Indomie perjalanan dilanjutkan menuju Curuk Orok. Mba Anita dan Mba Eko sudah nunggu ditengah perjalanan, katanya mereka da sempet naik ke parkiran tapi mba Anita ga kuat dengan aroma belerang yang terlalu pekat dan mereka akhirnya turun.

Curug Orok
Perjalanan menuju Curug Orok ternyata lumayan jauh juga, sekitar 15 km dari Papandayan. Arahnya sendiri kita selalu bertanya di sepanjang jalan, best practice kalau ga tau arah ;). Akhirnya tiba di satu lahan perkebunan teh yang sepertinya kurang terawat, beda dengan kebun teh yang biasa gw lihat, kebun tehnya ini kesannya kok dianggurin ya? Masuk ke lokasi curug Orok ini kurang jelas, ga ada petunjuk arah yang jelas ditemukan dijalan. Untung kita rajin bertanya, hampir kelewatan.

Digerbang masuk kita membayar retribusi yang gw lupa persisnya berapa, kalau ga salah sekitar 10rb per orang, komponen duitnya itu termasuk biaya masuk ke curug dan bisa berenang di kolam renang yang ada dekat curug. Setiba di parkiran, terlihat curug mengalir deras dari atas. Ketinggian curug sekitar 20m. Dan kita harus turun ke bawah untuk bisa main air dibawah. Di sekitar jalan menuju curug orok ini, penduduk sekitar, yang ga tau milik pribadi atau bukan, ditanami wortel.

Curug Orok ini ga terawat, tempat untuk ganti pakaian dibawah itu ga ada. Ada gubuk darurat yang ga layak untuk tempat ganti pakean kalo mau basah-basahan dibawah. Hal yang beda dari curug ini, ada dua buah aliran air, pertama yang dari atas ketinggian sekitar 20m, air nya coklat, dan buat males mandi di curug. Yang kedua airnya seolah keluar dari goa dari dalam tanah gitu dan airnya itu bersih jernih, tapi air jatuhannya itu ke bebatuan, jadi ga bisa main langsung dibawah aliran airnya. Dan karena air yang coklat itu mengalir ke air yang jernih jadinya airnya semua coklat yang dibawah. Kita jadi hanya foto disini, dan langsung menuju kolam renang.

Di kolam renang ini kita sempat marah-marah, karena ternyata harus bayar lagi. Sementara di depan retribusi kita disebut sudah termasuk mandi di kolam renang. Karena udah pengen renang akhirnya kita bayar lagi, sekalian mandi sih soalnya, dari pagi kita belum mandi, jadi mandi disini deh. Kolam renangnya kecil banget sebenarnya, 7x5 meter kalo itungan gw. Airnya jernih tapi dingin banget. Yang nyebur itu, gw, fai dan ryan, dan selama di kolam renang kita menjadi model buat para cewe2 fotografer itu.

Sehabis dari curug ini kita langsung balik tapi menuju Bandung, karena Faisal inisiatif ngajakin ke Ciwidey, Kawah Putih, Kebun Teh Rancabali, dan Situ Patengang keesokan harinya. Peserta yang ke Bandung gw, Fai, Mba Deny, Iem dan Pipit, sementara Ryan dan Kikid abis makan bareng di Bandung balik ke Jakarta, dan mba Anita dan Mba Eko udah lebih dulu balik ke Jakarta. Karena di blog ini udah 2 kali ngebahas perjalanan ke Ciwidey dan Kawah Putih, jadi ga usah diceritain lagi ya...walau pun gw tau, setiap perjalanan punya kisah tersendiri.. :)