Pagi ini aku terbangun dengan perasaan rindu. Ya, rindu yang membuncah. Entah mengapa pagi selalu terasa berat untukku saat teringat dirimu. Aku rindu senyummu. Senyum yang tulus. Senyum yang selalu mengajarkanku makna hidup. Senyum yang membuatku tak sabar menantikan saat bertemu. Senyum yang selalu membuat jantungku berdetak kencang. Senyum yang menyiratkan pilu dan tak pernah kau ijinkan aku untuk merasakannya.
Bagaimana harus kulukiskan senyummu. Senyum lucu kanak - kanak. Senyum dengan binar mata yang selalu berpendar. Senyum nakal menggoda. Senyum seorang lelaki. Tak akan pernah cukup lisan berkata dan lembar kertas menampungnya. Terlalu banyak kenangan yang berlalu bersama senyum indahmu. Pilu seakan tak pernah berhenti menyergap. Ingin kupalingkan wajah dan singgahi senyum yang lain. Tapi aku tak dapat berdusta, senyummu terlalu memikat untuk kutinggalkan. Ternyata aku benar – benar menggilai senyummu.
Senja itu aku mengenali siluetmu berdiri tegak dibibir pantai. Pandanganmu menatap cakrawala yang beringsut ke peraduan. Serpih ombak menjilati kaki telanjangmu. Kau tak bergeming. Tetap tegak disana. Akupun tak mau mengusikmu. Aku mengangkat tangan kanan berusaha untuk merengkuh bayangmu. Tapi terlalu jauh, tak sanggup. Tiba – tiba kau berpaling. Aku tersentak dan berusaha menurunkan tangan. Kau berjalan mendekat dan tersenyum. Tapi ada yang aneh dengan senyum kali ini. Aku tak dapat mengartikannya. Senyum yang tak biasa. Kau membelai pipiku lama. Aku menatap senyummu tapi aku tak bisa merasakan apapun. Kau melangkah pergi. Aku hanya mematung di tempatku. Bibirku kelu tak mampu menahan kepergianmu. Aku kembali memandang gulita yang perlahan – lahan turun. Perasaanku hampa tapi tak mampu berteriak. Jiwaku berkerak tapi tak mau mengikisnya. Tuhan, apakah ini saatnya aku kehilangan senyumnya. Tak adakah jejakku disisinya.
Aku menitipkan rindu pada lembaran awan. Aku berharap awan akan membisikkan sayang pada desah angin. Mudah – mudahan angin tak segan membelai cinta pucuk daun. Wahai embun yang melekat pada pucuk daun, tolong sampaikan padanya, saat dia merasa lelah untuk melangkah, aku tak pernah pergi dari pantai ini. aku selalu ada untuk dia. Aku tak tau dimana dia sekarang. Yang aku rasakan hanyalah rindu yang tak tersampaikan. Rindu akan sebuah senyuman.
-Jakarta, 3 Mei 2009-
Bagaimana harus kulukiskan senyummu. Senyum lucu kanak - kanak. Senyum dengan binar mata yang selalu berpendar. Senyum nakal menggoda. Senyum seorang lelaki. Tak akan pernah cukup lisan berkata dan lembar kertas menampungnya. Terlalu banyak kenangan yang berlalu bersama senyum indahmu. Pilu seakan tak pernah berhenti menyergap. Ingin kupalingkan wajah dan singgahi senyum yang lain. Tapi aku tak dapat berdusta, senyummu terlalu memikat untuk kutinggalkan. Ternyata aku benar – benar menggilai senyummu.
Senja itu aku mengenali siluetmu berdiri tegak dibibir pantai. Pandanganmu menatap cakrawala yang beringsut ke peraduan. Serpih ombak menjilati kaki telanjangmu. Kau tak bergeming. Tetap tegak disana. Akupun tak mau mengusikmu. Aku mengangkat tangan kanan berusaha untuk merengkuh bayangmu. Tapi terlalu jauh, tak sanggup. Tiba – tiba kau berpaling. Aku tersentak dan berusaha menurunkan tangan. Kau berjalan mendekat dan tersenyum. Tapi ada yang aneh dengan senyum kali ini. Aku tak dapat mengartikannya. Senyum yang tak biasa. Kau membelai pipiku lama. Aku menatap senyummu tapi aku tak bisa merasakan apapun. Kau melangkah pergi. Aku hanya mematung di tempatku. Bibirku kelu tak mampu menahan kepergianmu. Aku kembali memandang gulita yang perlahan – lahan turun. Perasaanku hampa tapi tak mampu berteriak. Jiwaku berkerak tapi tak mau mengikisnya. Tuhan, apakah ini saatnya aku kehilangan senyumnya. Tak adakah jejakku disisinya.
Aku menitipkan rindu pada lembaran awan. Aku berharap awan akan membisikkan sayang pada desah angin. Mudah – mudahan angin tak segan membelai cinta pucuk daun. Wahai embun yang melekat pada pucuk daun, tolong sampaikan padanya, saat dia merasa lelah untuk melangkah, aku tak pernah pergi dari pantai ini. aku selalu ada untuk dia. Aku tak tau dimana dia sekarang. Yang aku rasakan hanyalah rindu yang tak tersampaikan. Rindu akan sebuah senyuman.
-Jakarta, 3 Mei 2009-