Wahaaa…kali ini saya mau mellow mellow ah. Mumpung cuaca di luar jendela kamar kos mendukung. Hujannya sedang merintih dengan desahan geluduk yang mengerang di tengah pikuk petir *hadooohh berasa alay jadi – jadian gini*


Ga tau kenapa sejak sebulan terakhir ini saya sering keinget lelaki pertama saya..Err bukan lelaki pertama yang punya hubungan khusus dengan saya. Tetapi lelaki pertama yang benar – benar membuat saya jatuh cinta dan mengajari banyak hal tentang arti kehidupan *saddaaappp bahasanya mulai tinggi* . Terus terang nomer teleponnya sudah saya hapus dari phonelist kira – kira awal tahun 2010 ini. Sengaja saya lakukan. Bukan karena ingin membuang masa lalu. Tapi memberi kesempatan masa depan untuk datang dan masuk dalam kehidupan saya tanpa dibayangi keindahan masa lalu.

Tidak ada yang spesial dari lelaki itu. Badannya tinggi tegap, berkulit bersih dengan sorot mata tajam dinaungi oleh alis lebat yang berbaris rapi dibingkai rahang yang keras khas tekstur muka batak dilengkapi oleh hidung bangir dan rambut ikal cepak. Ya, dia batak dan beragama katholik. Awalnya saya kenal dia dari chatting pada saat saya masih kuliah semester 3. Andai kata buah, masih ranum nang harumlah pokoknya *haissaahhh* . Dia Asli Jakarta berkesukuan batak dan masih menyelesaikan kuliahnya di Jogja. Sudah semester sangat akhir dan mendekati keabadian di kampus sih kalo boleh dibilang. Skripsi belum kelar ditambah nyambi kerja juga, walah makin males aja dia. Padahal tempat kuliahnya lumayan mahal, maklum swasta yang ternama.

Singkat kata singkat cerita aku dan dia jatuh cinta *Serrr serrr*. Cinta yang dalam sedalam laut, laut meluap cintapun hanyut. Jelas sekali kalo saya tergila – gila sama dia awalnya karena penampilan fisik yang wokeh. Saya benar – benar terhanyut dan disilaukan oleh ketampanannya. Saya tidak berpikir panjang mengiyakan ajakannya untuk menjalin hubungan serius walaupun jelas di depan kami berdiri kokoh dan tebal dinding yang menghadang bernama Iman. Sudah bisa dipastikan diawal hubungan, kami tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Saling mengunjungi satu bulan sekali. Saya yang ke Jogja atau dia yang ke Surabaya.

6 bulan pertama hubungan kami masih indehoy asoy geboy dipenuhi oleh gairah masa muda. Karena saya orangnya ceplas ceplos dan blak blakan, suatu hari saya menanyakan sama dia, mau dibawa kemana hubungan yang beda agama ini *waktu itu lagu armada belum ada, jadi ga bisa sambil nyanyi nanyanya*. Kaget dengan pertanyaan yang pasti dia tidak duga sebelumnya membuat kami hanya terdiam. Akhirnya kami dicekam perasaan resah tentang sebuah kenyataan bahwa kami berdiri dipijakan yang nyaris runtuh. Kami berjalan melawan badai. Tidak menyiapkan perahu jika sewaktu – waktu banjir datang. Belum lagi beda suku yang membuat keadaan makin kacaw suracaw.

Melalui diskusi yang panjang dan dipenuhi kasih sayang diselimuti ciuman *upss, hiperbola kok* kami memutuskan untuk menjalani hubungan itu apa adanya. Tidak ada target apapun. Saya juga masih muda dan dia juga belum kepikiran untuk berumah tangga.

Makin hari rasa sayang diantara kami semakin utuh. Kami sering mendiskusikan banyak hal. Dia banyak mengajarkan pada saya tentang 1 kata yang dulu hanya sebuah kata yang apa adanya, tanpa makna. TOLERANSI. Sederhana kan. Tapi prakteknya, tidak semudah mengendalikan syahwat yang bisa muncul kapan saja. Saya sering diajak bertemu dengan teman – temannya yang kesemuanya Non Muslim. Awalnya saya kikuk, rikuh dan ga tau harus bersikap seperti apa, musti ngomong apa. Tapi ternyata mereka tidak seseram yang saya bayangkan. Mereka menerima saya apa adanya tanpa mempertanyakan ke-islam-an saya. Bahkan seringkali mereka mengingatkan saya untuk sholat jika sudah tiba waktunya. Seringkali jika saya berkunjung ke base camp mereka dan saya lupa membawa mukena, mereka dengan suka cita akan membantu mencarikan pinjaman mukena. Duh, betapa indahnya kerukunan beragama yang tercipta diantara kami waktu itu. Cara mereka bertoleransi mengajarkan 1 hal yang penting di hidup saya yaitu MENGHARGAI.

Saya menghargai lelaki saya yang notabene adalah seorang katolik dengan membuat dia nyaman untuk melakukan segala aktifitas keagamaanya. Begitu juga sebaliknya. Kami saling berbagi ilmu tentang agama masing – masing tanpa harus saling menyakiti ataupun meyakini. Hanya sekedar berbagi pengetahuan. Dari dia lah saya mengetahui banyak sekali ajaran kasih sayang di dalam agamanya. Dan dia juga menanyakan banyak hal tentang Islam pada saya termasuk tentang teroris (waktu itu sedang terjadi bom bali I) dan poligami. 2 bahasan yang sebenarnya membuat saya gelagapan untuk menjawab kalau dia mulai menanyakan hal – hal yang substansial. Dan banyak hal positif dari islam juga saya bagikan kepada dia.

Indahnya yang kami lakukan saat itu. Karena saya berkeyakinan bahwa didalam Islam sendiri sering mengajarkan untuk selalu berbagi kasih sayang kepada siapapun tanpa mengenal SARA. Di Al-Qur’an sendiri sudah disebutkan “untukmu agamamu dan untukku agamaku.” . Ya sudah, kenapa saya musti membuat perbedaan agama menjadi suatu masalah yang besar jika memang tidak ada yang perlu dibesar – besarkan.

Dia dan teman – temannya tidak pernah menghalang – halangi saya untuk beribadah. Mereka memberikan kebebasan saya untuk berbagi pengetahuan tentang Islam. Mereka juga antusias sekali menanyakan tentang Nabi Muhammad dan saya sama sekali tidak pernah berfikiran buruk tentang apa yang akan mereka lakukan di balik itu semua

Saya jadi tertarik untuk menghubungkan dengan kerusuhan yang berbau agama yang terjadi akhir – akhir ini. Terus terang saya kadang malu dengan kelakuan oknum – oknum yang berkedok atas nama Islam dengan menghalalkan segala cara untuk (yang katanya sih) menegakkan kebaikan dengan membuat keresahan dalam masyarakat. Mungkin maksud mereka baik, tetapi tidak diikuti oleh norma yang beretika dan beragama. Mereka terlalu mengkultuskan ke-mayoritas-an mereka dan terlalu arogan sampai susah membedakan antara menegakkan kebaikan atau memporakporandakan kesusilaan. Ga pernah tuh saya membaca didalam ajaran Islam ketika kita ingin menyebarkan kebaikan dengan membuat kegaduhan, ataupun ketika kita dianjurkan menyebarkan ajaran Islam dengan menjelek – jelekkan (dan mencurigai) agama lain

Islam itu indah dengan segala ajaran damai yang ada didalamnya. Islam itu tidak arogan dengan mengajarkan untuk selalu berbuat baik kepada sesama manusia dan menghargai satu sama lain. Islam itu terhormat dengan tidak menjatuhkan harga diri didalam suatu pengkultusan ego tak berujung. Islam itu tulus dengan segala sikap welas asih yang Nabi Muhammad selalu teladankan bahkan kepada musuh beliau sekalipun. Islam itu simpel dengan kemudahan ajaran tanpa perlu kita membuat rumit dibalik sebuah fakta bernama kefanatikan. Islam itu tak pernah memandang rendah sesama manusia karena sesungguhnya hanya Tuhanlah yang mempunyai hak untuk menilai makhluk ciptaanNya.

Jika memang mereka mengerti dan memahami ajaran Islam dengan sepenuhnya, mereka tidak akan berpikir untuk menghalang halangi umat beragama lain untuk beribadah dengan mempersulit pendirian tempat beribadah, dibalik alasan politik. Balikkan keadaan jika kita sebagai umat muslim dipersulit untuk beribadah, apa rasanya. Cobalah untuk menempatkan diri kita diposisi umat minoritas sebelum kita –sang-mayoritas- ingin membuat sebuah gerakan yang (sok) berbau agamis. Janganlah membuat gerakan yang berkedok agama jika sebenarnya yang ingin dilakukan adalah pengumbaran angkara murka.

Kalau memang kalian wahai pelaku agama yang terhormat sedang tidak ada kerjaan, janganlah berbuat keonaran dengan membubarkan sebuah kegiatan yang mengusung misi kebudayaan. Apa sih hak kalian mencampuri urusan tentang orientasi sex seseorang. Pemilihan Orientasi sex adalah hak privasi setiap orang, sama saja dengan ketika memilih untuk beragama ataupun tidak. Jangan salah sangka dulu. Saya menulis begitu bukannya ingin menyamakan tentang pemilihan agama dan pemilihan orientasi sex. Saya hanya ingin menjelaskan bahwa setiap orang memiliki hak untuk menentukan alur hidupnya selama itu tidak mengganggu kepentingan orang banyak dan lingkungannya. Okelah kalo kalian memang ingin mengembalikan mereka yang menurut kalian “salah jalan” secara agama. Tetapi bukan dengan membuat keonaran. keresahan dan kerugian. Segala sesuatunya jika dijalani dengan penuh kedamaian dan bersikap sadar, saya rasa hasilnya akan lebih baik dibandingkan dengan datang bergerombol dan merusak segala sesuatunya diiringi dengan memekikkan “Allahu Akbar”. Shit, kebohongan yang tertutupi topeng kemunafikan.

Kalau memang benar mereka ingin membuat kedamaian, bikin damailah dulu hati masing – masing. Bagaimana bisa sebuah perbuatan yang bertujuan untuk membuat damai dilakukan oleh individu – individu yang tidak damai. Lagian, berbuat damai itu kan tidak bisa terwujud jika dilakukan dengan menjatuhkan, menghujat ataupun mencerca. Ingat, Tuhan itu Maha Kuasa. Dia tidak butuh kita sanjung dengan cara yang tidak santun.

Jika kita bisa menggunakan konsep kasih sayang selayaknya orang yang kasmaran, saya berani menjamin kedamaian antar umat beragama pasti bisa terwujud tanpa terbentengi oleh keangkuhan yang berlabel kesombongan

Ayolah umat muslim, buang segala arogan dalam jiwa kalian. Kalau mereka bisa menghormati kita, apa susahnya sih untuk menghormati mereka juga. Ingat, perbedaan itu yang menciptakan Tuhan juga. Saya yakin Tuhan menciptakan perbedaan dengan tujuan agar kita bisa saling menghargai dan menghormati satu dan yang lainnya.

Duh, kenapa pembahasan saya jadi melenceng gini ya. Lain kali saya akan bikin tulisan yang khusus untuk mengkritisi umat Islam yang akhir – akhir ini agak gila hormat.

Balik lagi ke lelaki saya itu. Kok sudah ga mood lagi ya. Ehhhmmm gini deh, intinya kami cuma bertahan selama 2 tahun. Karena pada akhirnya kami tidak bisa memaksakan kehendak masing – masing untuk memilih 1 agama. Saya sadar bahwa segala sesuatu jika terpaksa, tidak akan baik hasilnya. Begitupun dengan agama. Saya tidak bisa jika harus mengorbankan prinsip saya hanya untuk kebahagiaan semata tanpa mempertimbangkan banyak hal. Satu yang saya yakini adalah, Tuhan itu satu tetapi kita, umat manusia, menyebutnya dengan cara yang berbeda. Tujuan kita semua sebenarnya sama yaitu menuju kepadaNya, tetapi alat yang kita pakai berbeda.

Setelah memutuskan hubungan dengan dia, entah kenapa setelahnya saya jadi berganti – ganti lelaki dengan agama yang berbeda juga. Saya pernah berbagi hati dengan lelaki Hindu. Kristen dan Katholik. Bahkan ketika saya sudah memakai Jilbab begini, saya malah diajak nikah dengan lelaki Kristen. Weleh weleh kok saya laku keras di luar Islam. Saya tidak pernah menyesali pernah berhubungan dengan mereka. Karena dari merekalah saya belajar untuk menjadi Muslim yang baik, saya belajar menghargai dalam arti yang sebenarnya dan saya belajar untuk menghormati pilihan yang menjadi hak setiap umat tanpa harus mencibir, menggunjing ataupun memaksa mereka untuk mengikuti pilihan yang (sok) benar.

Beda itu Indah, dan saya sudah membuktikannya. Saya tidak pernah ragu untuk menginjakkan langkah saya di bidak warna hitam ataupun putih karena abu – abu pun tidak pernah salah sebagai warna. Saya tidak pernah mau menjerat Tuhan kedalam kotak dan menutup dengan sebuah tirai bernama keseragaman. Beda itu sangat indah. Cobalah untuk sesekali melihat dunia sekitar dan tanggalkan segala keangkuhan. Pelangi justru terlihat indah karena perbedaan warna yang terbentuk dari bias cahaya. Kalaulah kesusahan adalah hujan dan kebahagiaan adalah matahari, kita butuh keduanya agar dapat melihat pelangi. Jadi, yakinlah jika beda itu memang indah.


Selamat berkompromi dan bersahabat dengan segala perbedaan


“Benteng begitu tinggi sulit untuk kugapai..aku untuk kamu, kamu untuk aku..namun semua apa mungkin, iman kita yang berbeda…Tuhan memang satu, kita yang tak sama..haruskah aku lantas pergi meski cinta tak kan bisa pergi” –Marcell Siahaan-


-Jakarta, 13 Oktober 23:25 didalam kamar kos diiringi suara kodok, lagunya Marcell dan gerimis diluar-




This entry was posted on 11:15 AM and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

7 komentar:

    desi said...

    padahal Tuhan sudah sangat berbaik hati memberi kt kesempatan utk hidup d negeri yg menyepakati Bhinneka Tunggal Ika, membuat kt harusnya bisa mengerti lebih dalam tentang perbedaan.
    ahhh..knp juga masih banyak yg memilih perang.

  1. ... on October 14, 2010 at 3:49 PM  
  2. widhi said...

    di Bali, saya seneng jadi minoritas....membuat saya belajar banyak hal, menghargai perbedaan, melihat sesuatu lebih obyektif, meski tetep misuh dg gaya suroboyoan, hahahahah....
    bos saya pernah bilang, seseorang yang ga pernah keluar kotak, pemikirannya jadi dangkal... very2 agree with him... *he's gay, it's not right, but I can accept it
    So...thanks God sudah memberi kesempatan saya mencicipi tinggal di Bali...
    nek nang Bali ae kyk ngene, opomaneh nek tinggal luar negeri yo...

  3. ... on October 15, 2010 at 9:29 AM  
  4. Anonymous said...

    Hmm..iya, setuju bahwa pilihan itu merupakan urusan dan tanggung jawab masing2 individu.

    menurutku adalah sikap kedewasaannya yang kurang..karena jika kita dewasa menghadapi sesuatu hal, dan tidak buruk sangka semuanya bisa lebih indah..

    disini, aku adalah kaum minoritas. pakaian, makanan, dan islam adalah pertanyaan bg sbagian besar org disini.

    kebanyakan orang sini tidak beragama tp Alhamdulilah sebagian besar bisa menghargai.. bahkan jika ada undangan makan2 mereka "rela" mengalah tidak menggunakan bahan2 yg aku tidak bisa makan.. sangat indah..!
    meski..sayang sekali.. masih ada jg org2 ttt yg lebih memilih menghindari kumpul2 karena takut makanannya tercampur dgn bahan2 yg haram..
    menurutku hal ini terlalu ya.. kalo pun tidak bisa makan, seharusnya kan tetap bisa minum jus/air kan?

    pernah juga membuka suatu thread di internet, isinya maki2an antar umat beragama.. penting ga sih? menganggap agamanya sendiri paling benar dengan menjelek2kan Tuhan, kitab, ajaran, dan nabi2nya?

    Hmm..apapun agamanya, menurutku kalo kita menghargai, penuh sayang terhadap sesama maka keindahan akan tercipta.. maka dewasalah! :D

    *jadi pengen menulis perbedaan juga.. :)

  5. ... on October 15, 2010 at 1:57 PM  
  6. Deny Lestiyorini said...

    Cepu -->> Mungkin karena setiap orang merasa dirinya yang "Paling" jadinya malah sak karepe dhewe :)

    Widhi -->> Don't you that i'm a lesbian? *kidding* tapi kenapa ya kalo aku ke Bali aku merasa nyaman..upps, lali soale nang kono akeh bule, dadi aku krasan ..hihihihi

    Ika -->> ayo ayo nulis, soalnya kan perbedaan itu aspeknya banyak. kalo aku disini lebih konsen ke agama karena akhir - akhir ini merasa "terusik" dengan oknum2 itu. koar2 pinter agama tapi kok ya kelakuakannya beda :) *menghela nafas* , dan juga karena aku merasakan sendiri bajwa aku tidak pernah ada masalah dengan mereka yang berbeda. Dewasa, mungkin itu ya kuncinya :D

  7. ... on October 15, 2010 at 3:21 PM  
  8. Deny Lestiyorini said...

    hahhh, kademen dadi kurang tulisane. Widhi : Don't you know iku maksudku :D

  9. ... on October 15, 2010 at 3:24 PM  
  10. Wulan said...

    Mbak aku wes mampir.... nice posting-ting..
    Iya Mbak, setuju. Agama itu bukan hanya ttg benar atau salah, tapi masalah kenyamanan.. seseorang yg nyaman dg yg dia yakini, tdk mmbutuhkan pembuktian kebenaran..
    tpi akhir2 ini jd sensitif ya dg p...erbedaan ini, nama Tuhan jadi begitu murah dan bak komoditas brg dagangan...

    tpi ada satu yg mengganjal dlm tulisan mba Deny, dan ijinkan aku menyampaikan uneg2 ini, seolah dlm tulisan ini ada pesan yg disampaikan kpd sang mayoritas, seolah kekesalan dan kesalahan ditumpahkan pada si mayoritas ini..

    Mohon dikoreksi jika opiniku ini trlalu dini dan tdk mengena Mbak... :D

  11. ... on October 18, 2010 at 9:04 AM  
  12. Deny Lestiyorini said...

    Jadi bengini Pen .. bukannya aku kesal dan marah sama si Mayoritas. aku kan juga termasuk dalam yang mayoritas. Tapi, yang kusoroti adalah mereka para oknum yang selalu angkuh dan terlalu arogan dengan Agama ini. Menganggap bahwa agama atau kelompok lainnya itu kalo melakukan sesuatu yang menurut mereka tidak benar selalu saja di"keroyok". Mustinya kan kita saling menghormati dalam kebaikan :)

  13. ... on October 18, 2010 at 1:41 PM