Sebulan lalu, tepatnya 29 maret 2010, saya merubah penampilan saya. Tertutup karena sudah memakai Jilbab. Alhamdulillah, saya akhirnya bisa berdamai dengan ini semua. Keputusan yang tiba – tiba dan agak gila.  Dulu saya berpikir bahwa ada 2 hal gila dan tidak masuk di akal saya apabila seseorang  melakukannya. Pertama adalah orang yang memutuskan untuk berjilbab dan yang kedua adalah orang yang memutuskan untuk menikah. Dua hal tersebut adalah sebuah komitmen seumur hidup antara diri sendiri dan Tuhan. Pihak kedua, ketiga dan seterusnya cuma sebagai pelengkap saja. Oke, dulu saya berpikir suatu saat akan berjilbab. Nanti, ketika saya sudah menikah, mempunyai anak dan raut muka sudah tak terlalu sedap lagi untuk dipandang. Intinya ketika diri ini sudah tidak memungkinkan lagi untuk pamer badan.
Entah kenapa disuatu malam saya terbersit untuk berjilbab. Lebih tepatnya sekitar 3 minggu sebelum hari ulang tahun saya, hari pertama saya memakai jilbab secara resmi. Malam itu mungkin hati saya tergerak untuk hening, menepi sejenak dari hiruk pikuk nafsu dunia. Jiwa saya penat saat itu. Sangat lelah sehingga saya merasa seperti melakukan meditasi, hal yang selama ini tidak bisa saya lakukan. Setelah mandi, saya membaringkan badan disudut kamar kos dan mulai membaca buku yang berjudul Hafalan Sholat Delisa. Buku yang sangat inspiratif. Tidak sampai satu jam saya letakkan buku tersebut karena saya mulai mengantuk. Saya memejamkan mata dan berharap bisa segera tertidur. Ternyata saya salah. Mata memang terpejam tetapi saya seperti sedang disuguhkan suatu film yang berceritakan perjalan hidup saya. Saya bisa melihat dengan jelas betapa saya sudah terlalu jauh melenceng dari “jalur”.  Satu persatu jejak kehidupan saya diputar kembali. Semuanya secara berurutan. Segala macam tingkah polah yang kalau saya mengingatnya sekarang rasanya malu sekali. Hampir satu jam saya terpejam dan melihat itu semua di mata batin saya. Ketika saya membuka mata, saya tak kuasa untuk membendung air mata yang bercucuran keluar. Serasa saya sudah menahan bendungan itu berpuluh tahun. Pertahanan saya akhirnya runtuh. Semua kesombongan, iri, dengki, riya’ dan semua nafsu dunia saya sama sekali tidak mempunyai arti malam itu. Mungkin hampir selama 2 jam saya menangis tiada henti. Setelah saya bisa mengendalikan diri, saya bersujud, mencoba berbicara padaNya dengan terpatah – patah. Berusaha untuk menjalin kembali komunikasi ala kadarnya yang selama ini saya lakukan. Saya meminta maaf atas segala perbuatan yang telah saya lakukan dan sering menyakitiNya.
Selama ini saya selalu mepertanyakan banyak hal. Memperdebatkan semua yang tidak masuk diakal saya. Ajaran yang menurut saya aneh. Tetapi karena Dia tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan saya, akhirnya saya membangkang. Menjadi pribadi yang sombong. Merasa saya telah bekerja keras atas semua ini. Jadi memang selayaknya saya mendapatkan apa yang saya inginkan. Saya lupa bahwa Tuhan mempunyai kuasa penuh atas segalanya. Saya masih mengerjakan semua kewajiban. Saya tidak pernah lalai sholat 5 waktu, berusaha untuk puasa sunnah dan melakukan ibadah lainnya. Tetapi semua saya lakukan tanpa jiwa. Serasa hanya menunaikan kewajiban saja. Tidak ada kedekatan khusus yang saya rasakan. Saya juga sering bersyukur atas semua kenikmatan ini. Tapi syukur yang ala kadarnya. Tidak mempunyai bobot sama sekali. Jiwa saya kering, karena saya merasa bahwa Tuhan hanya melihat saya dari kejauhan, tidak menolong ketika saya tersungkur. Membiarkan saya berusaha sendiri untuk bangkit. Jadi, sebenarnya apa fungsi Tuhan di hidup saya. Itulah saya, jiwa yang menggugat. Yang bergerak kesana  kemari dengan kegelisahan tetapi berusaha menutupi dengan geliat kehidupan yang membaur menjadi nafsu tak terkendali. Ppfiuuhh, mengingatnya saat ini saya seperti tidak sanggup untuk mengulangnya. Penat, kelebihan beban dan tak tahu harus menaruh beban ini dimana.
Setelah saya mengingat beberapa hal, sebenarnya Tuhan tidak pernah benar – benar meninggalkan saya. Dia selalu ada kapanpun saya perlukan, kapanpun saya inginkan. PertolonganNya tak pernah jauh dari saya. Saya ingat betul kejadian di Bali. Ada kejadian memalukan yang sudah saya lakukan disana. Kalau Dia mau, sebenarnya bisa saja nyawa saya diambil ditempat itu. Tetapi Dia tidak melakukanNya. Oh Tuhan, betapa saya sudah terlalu sering berkhianat padaMu. Tetapi Engkau seolah tak pernah lelah untuk selalu menolong hamba keluar dari kungkungan setan. Maafkan hamba yang selalu ingkar akan kebesaranMu. Maafkan hamba karena telah menodai kepercayaanMu. Maafkan hamba karena segala macam laku yang tak layak untuk Kau maafkan.
Pada malam itu saya seperti diberikan kesempatan untuk lahir kembali. Diberikan kesempatan berdamai dengan keadaan. Berdamai dengan jiwa. Yang perlu saya lakukan adalah saya harus memaafkan diri saya sendiri karena untuk beberapa menit saya merasa jijik dan benci dengan jiwa yang terperangkap dalam tubuh ini. Merasa jiwa saya ini kotor sekali, tak layak untuk mendapatkan pengampunan. Tetapi beberapa menit kemudian saya segera menyadari bahwa saya tidak boleh berlarut – larut dalam keadaan .Saya harus segera bangkit. Menyelesaikan yang tersisa. Saya bersyukur tiada terperi kepada Sang Maha Pencipta atas segala kemurahanNya untuk mengingatkan saya disaat saya hampir terjungkal kedalam jurang kesesatan. Akhirnya saya memutuskan, saya akan berjilbab. Jilbab ini adalah wujud syukur saya atas semua peringatanNya. Bersyukur karena Dia masih sayang kepada saya. Bersyukur karena dia masih memberikan kesempatan kepada saya untuk lahir kembali. Bersyukur atas segala yang tidak pernah saya syukuri selama ini. Ini bentuk ketaatan saya padaNya. Saya tahu bahwa berjilbab adalah suatu kewajiban karena sudah tercantum di Al-Qur’an. Tetapi kalau saya boleh jujur, saya berjilbab bukan karena ingin memenuhi kewajiban yang sudah termaktub. Tulus ini adalah bentuk syukur yang tiada tara dan awal yang telah saya tetapkan agar saya bisa semakin dekat denganNya. Saya ingin memulai sebuah hubungan yang ikhlas, tulus, damai. Saya ingin memulai hubungan yang tanpa syarat tanpa harus menghitung untung dan rugi. Saya ingin memulai semuanya tanpa berharap ada balas imbalan dariNya. Saya ingin semuanya berjalan dalam keadaan hening, sunyi dan saya bisa merasakan sentuhan kasih sayangNya dalam setiap obrolan saya denganNya. Saya ingin semuanya indah. Saya ingin jiwa ini tersembuhkan dan saya sendiri yang wajib menyembuhkannya.
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jika nyawa ini sudah diambil tanpa saya berkesempatan untuk memperbaiki semuanya. Belum menyelesaikan yang tertunda, yaitu meminta maaf dan membuang segala macam congkak hati yang saya miliki. Rasanya saya tidak akan ikhlas untuk memenuhi panggilanNya karena merasa masih ada yang tertinggal. Mengingat kembali ini semua membuat hati ini sesak. Semuanya sudah berlalu. Semuanya sudah usai. Saya sudah lahir kembali bersama jiwa yang berusaha untuk menutup luka lama. Saya membutuhkan waktu. Tetapi ini tidaklah menghalangi saya untuk semakin cinta padaNya
Disinilah saya sekarang, seperti orang sedang jatuh cinta. Cinta kepadaNya. Setiap saat saya rasanya ingin selalu dekat denganNya. Selalu menangis jika mendengar ayat – ayat yang terlantun. Selalu bergetar jika mendengar siapapun menyebut namaNya. Subhanallah, kenikmatan ini tiada tara.  Serasa setiap saat ingin selalu bercakap – cakap denganNya. Alhamdulillah, saya sudah bisa melewati semuanya. Langkah saya semakin ringan sekarang. Bersyukur selalu atas segala amanah yang Allah selalu berikan setiap saat. Ya Tuhan, hamba mohon janganlah kau ambil nikmat yang tiada tara ini. Hamba dahaga akan kasihMu. Hamba ingin selalu mempersembahkan yang terbaik padaMu. Tolong jangan pernah tinggalkan hamba walaupun sejenak karena hamba tak akan pernah sanggup hidup tanpa diriMu.

Perjalanan ini belumlah usai. Perjalanan ini baru dimulai. Saya tidak akan pernah merubah tanya yang selama ini bergelantungan di kepala menjadi sebuah titik. Saya hanya perlu lebih mengenalNya tanpa harus menjeratNya kedalam sebuah kotak. Kenapa selama ini saya lebih suka memanggilNya dengan Tuhan daripada Allah, karena yang saya yakini Dia hanya satu tetapi kita memanggilnya dengan sebutan yang berbeda. Pernyataan ini mungkin untuk sebagian orang adalah absurd. Tapi tak apalah, saya juga juga tidak pernah mau untuk menyamakan pendapat. Saya tidak mau seragam kalau perbedaan membuat indah dan memperkaya segalanya. Saya tidak mau hidup dalam batasan baik-buruk, suci-dosa, hitam-putih, kanan-kiri  karena hidup kaya akan rasa. Saya tidak harus menjadi pribadi yang "baik - baik saja" kalau memang kenyataannya saya sedang tidak baik. Pencarian ini bukan tanpa rintangan tapi tidak akan membuat saya berhenti untuk mencintaiNya dengan cara saya. Sederhana dan bersahaja.
Dan saya sekarang mampu tersenyum dalam jiwa yang damai. Bersyukur dalam ikhlasnya keheningan. Terima Kasih Tuhan untuk semua keindahan dalam perjalanan ini. Terima Kasih Alam karena sudah mendampingi saya untuk menemukan kembali apa artinya sunyi. Terima kasih karena sudah membuat saya jatuh cinta kembali padaMu dengan cinta yang tak bersyarat

PS : setelah saya sukses melakukan kegilaan yang pertama yaitu berkomitmen sehidup semati dengan jilbab, sekarang saya sedang menunggu saat yang tepat untuk melakukan kegilaan yang kedua dan yang terakhir yaitu berkomitmen sehidup semati dengan calon suami saya dalam ikatan pernikahan. Doakan saja waktunya tak akan lama lagi ya ^__^. Yippiiieeee…..
 -Jakarta, 28 April 2010-


This entry was posted on 10:21 PM and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

3 komentar:

    Alin said...

    Amin....
    semoga kegilaanmu yang kedua cepet terlaksana.
    terimakasih juga inspirasinya......

  1. ... on May 11, 2010 at 2:22 PM  
  2. woe said...

    Makasih mbak, sudah mengingatkan kembali...

  3. ... on May 18, 2010 at 2:12 PM  
  4. Deny Lestiyorini said...

    Amieeenn...Thanks Ver..aku juga selalu menantikan saat2 bahagia itu..hihihi

    Kita selalu bisa untuk saling mengingatkan Woe ^__^

  5. ... on June 2, 2010 at 8:40 AM