Bagaimana saya harus memulai untuk bercerita. Terlalu banyak kebaikannya untuk dikenang. Saya ralat, bukan dikenang. Tetapi diingat. Karena Alhamdulillah beliau masih diberikan umur panjang sampai sekarang. Saya pertama kali mengenal lelaki ini 29 tahun lalu.

Terlahir dari keluarga yang berkecukupan di sebuah desa yang terletak di kaki gunung 60 tahun lalu. Walaupun berasal dari keluarga yang berada, beliau tidak serta merta melalui masa kecil dengan hidup yang serba bergelimang materi. Sang ayah meninggal ketika beliau masih balita dan sang ibu harus menanggung kehidupan 4 anak kecil. Menjadi lelaki satu – satunya dan bungsu diantara 4 bersaudara bukanlah perkara mudah. Pengharapan keluarga tertumpu padanya. Masa sekolah yang harus dilalui dengan berjalan berpuluh kilometer sehari pulang pergi tanpa mengenakan alas kaki adalah hal yang harus dijalani setiap hari. Kadangkala ada rasa untuk menyerah. Tetapi dengan penuh kasih sayang ibu memberi tahu jika hanya pendidikan yang akan bisa mengantarkannya sukses suatu hari nanti. Sepulang sekolah membantu bekerja di sawah agar di awal bulan ada uang untuk dibayarkan supaya sekolah tidak berhenti ditengah jalan. Dengan kesungguhan tekad, akhirnya setelah tamat SMP, beliau pindah ke kota lain untuk melanjutkan ke SMA. Dengan menumpang tinggal di rumah kakak kandung yang sudah menikah dan hijrah ke kota ini, beliau melalui masa SMA dengan sebuah harapan besar, menjadi PNS di kota tersebut. Setelah tamat SMA, beliau mendaftar di PEMDA setempat dan Tuhan memang sedang menitipkan amanah yang besar pada beliau untuk menjadi PNS. Dimulai dari golongan II, beliau bekerja dengan selalu mengedepankan kejujuran dan amanah. Dengan kegigihan dalam bekerja, beliau akhirnya bisa membeli sebuah sepeda motor Honda model laki – laki dan pindah ke sebuah rumah kontrakan yang sederhana. Beliau tinggal di rumah kontrakan tersebut bersama beberapa keponakan yang sedang menuntut ilmu di kesehatan dan di kepolisian.

Karena tidak mempunyai saudara lelaki di rumah, untuk masalah percintaan beliau memang agak tertutup. Walaupun begitu, beliau bukanlah orang yang kurang pergaulan. Karena kesopanan dan kejujuran beliau, banyak orang yang merasa nyaman untuk berteman. Begitupun wanita. Setidaknya ada 3 wanita yang pernah menghiasi masa pacaran beliau. Semuanya dilalui dengan proses yang sangat serius. Bahkana beliau sudah bertunangan, tetapi mungkin karena faktor belum jodoh, pertunangan itupun tak pernah berlanjut sampai ke jenjang pernikahan. Sampai suatu siang, ketika beliau sedang melintas di depan bangunan SMP favorit di kota tersebut, beliau melihat ada gadis cantik yang sedang berdiri di pinggir jalan. Menunggu angkutan umum mungkin, pikir beliau. Setelah selesai membeli bensin untuk motornya, beliau kembali melintas didepan SMP tersebut dan melihat si gadis masih berdiri menunggu. Entah keberanian darimana, beliau mengajak berkenalan gadis tersebut. Perkenalan yang tak terduga tersebut adalah awal dari segalanya. Dengan perjuangan yang berliku untuk memenangkan hati gadis pujaan, beliau akhirnya bisa meminang dan mengucapkan akad nikah 6 bulan kemudian di umur 30 tahun dan sang gadis 27 tahun. Cukup singkat memang, tetapi beliau sudah mantap untuk memulai segalanya.

Membangun rumah tangga dengan keadaan ekonomi yang pas – pasan tidak membuat pengantin baru ini menyerah begitu saja. Rumah kontarakan yang sangat sederhana dimana sebagian besar dindingnya terbuat dari bilik dan jika musim hujan, bocor disana sini adalah hal yang biasa. Pertengkaran sering menjadi bumbu karena singkatnya masa perkenalan sebelum menikah. Tetapi sedikitpun tak pernah keluar kata perceraian. Setahun kemudian, lahir seorang bayi perempuan melengkapi kebahagiaan pasangan ini. Tetapi keadaan ekonomi masih belum berubah seutuhnya. Istri beliau yang bekerja sebagai guru, rela untuk banting tulang mmbantu memperbaiki perekonomian keluarga. Pagi hari berangkat dengan mengendarai sepeda onthel pergi mengajar di SMP kota. Sore hari sudah berpindah ke SMP yang ada di kecamatan dan baru sampai rumah malam hari. Praktis untuk urusan domestik peran pembantu sangatlah besar, termasuk menjaga bayi mereka. Pasangan ini tidak pernah menyalahkan keadaan karena mereka yakin suatu saat keadaan pasti akan berubah. 3 tahun kemudian, lahirlah anak lelaki. Disusul 3 tahun kemudian lahirlah anak perempuan. Lengkaplah sudah kebahagiaan beliau sebagai kepala keluarga karena sudah memiliki harta yang tak ternilai, yaitu sebuah keluarga yang utuh.

Perlahan – lahan keadaan perekonomian mulai membaik. Beliau sudah bisa membeli sebidang tanah dan membangun rumah diatasnya. Berbekal dengan tabungan yang pas – pasan dan hutang kepada atasan, akhirnya rumah idaman pun berdiri diatas bumi ini. Di awal 90 an, beliau sekeluarga akhirnya menempati rumah baru. Besar, kokoh, nyaman dan tidak pernah bocor jika musim hujan datang. Dan yang pasti rumah ini semakin hangat karena adanya cinta kasih diantara anggota keluarga. Perlahan namun pasti, beliau juga mengalami kenaikan di pekerjaannya dan bisa melanjutkan jenjang S1. Hal tersebut juga mempengaruhi perekonomian keluarga. Keadaan yang sama juga terjadi pada sang istri. Walaupun begitu, tak ada satupun yang berubah pada beliau. Masih sosok suami yang selalu menyayangi istrinya, sosok bapak yang selalu member teladan untuk ketiga anaknya dan sosok lelaki pekerja keras yang selalu bekerja dengan kejujuran dan takut dengan Tuhan.

Sebagai seorang suami, beliau adalah tipe yang selalu mengalah dan mengedepankan komunikasi. Mempunyai istri yang keras kepala dan sangat mandiri bukanlah perkara yang mudah. Dari sekian kali pertengkaran, kunci utamanya adalah beliau yang selalu mengalah. Meskipun terkadang beliau sakit hati karena ucapan kasar dari istrinya, beliau tidak pernah membalas dengan sesuatu yang menyakitkan juga. Beliau hanya memberi pengertian. Dan setelahnya beliau pasti akan sholat dan meminta petunjukNya. Tidaklah mengherankan kalau tahun ini pernikahan beliau menginjak diusia 30 tahun.

Membesarkan 3 anak yang memiliki karakter berbeda juga bukanlah hal yang bisa dianggap gampang. Sulung yang keras kepala dan selalu membangkang. Anak tengah yang memiliki keterbatasan dalam berpikir dan bungsu yang kalem dan selalu mengalah diantara 2 saudara yang lain. Mungkin lebih tepatnya bagi beliau, tidaklah gampang mendidik anak pertamanya. Perdebatan dan pertengkaran kerap terjadi. Membanting pintu, pergi dari rumah ataupun mengeluarkan kata – kata yang kasar bukanlah hal yang baru untuk beliau dan istri. Tetapi tidak pernah sekalipun beliau membalasnya. Beliau hanya selalu berusaha untuk mengedepankan komunikasi, mengajak berbicara dari hati ke hati. Saya kadang suka bertanya, terbuat dari apa hati beliau ini. Kenapa begitu sabar menghadapi dunia ini. Suatu saat saya bertanya tentang hal ini pada beliau, beliau hanya mengatakan kalau suatu saat pasti ada hasil baik yang akan bisa dipetik dari semua ini. Air mata saya menetes dan ingin rasanya saya memeluk beliau saat itu.

Ketika ketiga anaknya bersekolah di kota besar dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit, tidak menyurutkan beliau untuk tetep bekerja secara jujur. Dari pasangan yang bekerja sebagai PNS disebuah kota kecil tanpa pekerjaan sampingan lainnya, saya juga mengerti berapa penghasilan mereka. Jalan satu – satunya adalah pinjam ke Bank. Tetapi beliau tak pernah berputus asa menghantarkan ketiga anaknya untuk berjalan menuju gerbang kesuksesan. Bahu membahu dengan istri, beliau menjalani kehidupan yang kembali sederhana. Mengumpulkan sedikit demi sedikit penghasilan agar ketiga anaknya bisa kuliah dan tidak kekurangan makan di kota orang. Walaupun setiap harinya harus dilalui dengan makanan yang sederhana, barang – barang yang sederhana, tidak pernah sedikitpun keluh kesah keluar dari mulut beliau. Tahun 2005 anak sulungnya lulus kuliah dan saat itu sudah diterima bekerja di salah satu perusahaan multinasional di Indonesia. Tidak pernah lupa dari ingatan saya ketika beliau dan istri menghadiri acara wisuda. Senyum bahagia dan tatapan bangga karena si sulung meraih nilai baik di kelasnya. Mata itu seolah berbicara “inilah hasil yang sudah saya petik. Melihatnya memakai toga, berdiri diantara lulusan lainnya dan melihat senyum kebahagiaannya adalah sesuatu yang lebih dari cukup untuk saya”. Kembali, air mata saya menetes saat itu. Di tahun itu pulalah, beliau memasuki usia pensiun.

Tahun ini, anak tengah dan si bungsu pun akan segera diwisuda. Itu berarti beliau akan mempunyai waktu untuk memikirkan diri sendiri dan istri. Memiliki kesempatan untuk menabung setelah tertunda sekian puluh tahun. Tetapi ketika saya tanya dengan nada bercanda, apa yang akan beliau lakukan ketika sudah tidak memiliki tanggungan lagi dan bisa menikmati hasil pensiunan ini. Dengan sedikit kebingungan beliau menjawab “apa ya, saya juga bingung. Karena belum terpikir oleh saya. Saya sudah terbiasa membiayai anak – anak saya. Jadi agak aneh mungkin nantinya kalau saya menerima uang pensiun utuh setiap bulannya. Mungkin nanti uangnya akan saya tabung untuk keperluan anak – anak saya. Siapa tahu meskipun mereka sudah bekerja, mereka masih memerlukan bantuan dari saya”. Tuhan, Kau ciptakan dari apa lelaki ini. Hatinya begitu mulia. Saya kembali bertanya, mengapa tidak dikumpulkan uangnya untuk naik haji saja. Beliau pun menjawab “Insya Allah, nanti saya pasti akan berangkat ke tanah suci. Tetapi setelah anak kedua saya mendapatkan pekerjaan yang mapan. Rencananya, saya akan membantu biaya untuk dia masuk PNS, karena biayanya tidak sedikit. Anak kedua saya kan memiliki keterbatasan”. Sampai dititik ini, saya tak kuasa menahan air mata saya untuk keluar. Tak pernah sedikitpun di benaknya untuk memikirkan dirinya sendiri. Menunda mendaftar haji hanya sekedar untuk menunggu anak kedua bisa masuk PNS

Bulan juli nanti beliau genap berusia 60 tahun. Usia yang sudah sangat senja. Beliau sudah berbeda dari yang saya kenal bertahun – tahun yang lalu. Badannya sudah agak kurus, tidak setegap dulu. Rambut yang sudah semakin sedikit dan beruban semua. Gigi yang mulai tanggal disana sini. Kulit yang sudah mulai mengeriput dan ingatan yang sudah mulai menurun. Beliau pun sudah tidak sesehat dulu lagi. Walaupun tidak mempunyai penyakit yang serius, setiap 3 bulan sekali beliau tidak pernah lupa untuk cek kesehatan. Setiap pagi selalu olahraga jalan dan setelahnya mengantarkan es disekolah istrinya. Hasil dari berjualan es yang dititipkan ini beliau simpan di kaleng kecil dan jika sudah terkumpul sampai jumlah tertentu, beliau akan simpan di Bank. Beliau mengatakan, lumayan untuk menambah tabungan buat anak – anaknya. Ketika istrinya sudah berangkat untuk mengajar, beliau mulai membersihkan rumah, memasak nasi, mencuci piring dan seminggu sekali membersihkan musholla dekat rumah. Ketika adzan dhuhur berkumandang, beliau sudah ada di musholla tersebut untuk sholat berjama’ah. Selesai sholat, sambil menunggu istri pulang dari mengajar, beliau makan siang sambil menonton kabar terkini di televisi. Sembari menonton TV, seringkali beliau terlelap. Ketika istri sudah datang, beliau akan terbangun dan menanyakan apa yang terjadi disekolah hari ini. Mereka pun akan bercerita tentang apa yang terjadi hari ini, sampai salah satu diantaranya tertidur. Sorenya, beliau kembali dengan rutinitas, menyeterika baju, menyapu halaman dan ketika beranjak senja beliau akan ke musholla untuk melaksanakan sholat maghrib dan isya berjamaah. Begitulah rutinitas beliau sejak pensiun.

Suatu waktu saya bertanya apa beliau tidak bosan dengan rutinitas yang sama tiap harinya. “saya tidak pernah bosan dengan apa yang saya jalani sekarang. Berusaha dekat dengan Sang Pencipta, untuk menebus waktu saya di masa lalu yang sedikit lalai padaNya. Dekat dengan istri saya karena dulu saya sering meninggalkan keluarga untuk urusan dinas dan dekat dengan anak – anak saya walaupun mereka jauh dari saya. Minimal seminggu sekali saya akan menelepon mereka menanyakan kabar terbaru. Obat rindu saya pada mereka. Jadi, apa yang membuat saya bosan? Tidak ada karena semua ini adalah kebahagiaan untuk saya” jawab beliau. Kemudian saya kembali bertanya, apa yang ingin dilakukannya dalam waktu dekat ini. Dengan mata menerawang beliau bertutur “saya ingin melihat sulung saya menikah karena dia sudah cukup umur. Saya selalu berdo’a pada Tuhan agar diberikan ksempatan untuk mendampingi anak perempuan saya menikah. Menjadi wali nikahnya dan memberikan restu mungkin adalah hal terindah di penghujung usia saya. Syukur - syukur kalau saya bisa mendampingi ketiga anak saya. Tetapi yang lebih penting untuk saya sekarang adalah selalu berdo’a agar sulung saya segera bertemu dengan jodohnya”. Saya tak kuasa berkata – kata lagi dan saya tak bisa menghentikan tangisan saya.

Kalian ingin tahu siapa lelaki dalam cerita diatas? Dialah Bapak saya. Lelaki kebanggaan saya. Lelaki yang selalu menjaga kehormatan dan kebanggan keluarga dengan segenap tetesan keringat, air mata dan tak pernah mengenal lelah untuk berusaha. Seringkali ketika beliau terlelap, saya memandangnya dan berbisik dalam hati “sudah sejauh ini perjalanannya menyertai saya. Bagaimana saya harus membalas semua ini. Bagaimana saya bisa mengembalikan yang sudah beliau curahkan. Sampai berapa lama lagi saya bisa menemaninya. Sampai berapa lama lagi saya bisa melihat senyumnya, mendengar tertawanya dan menerima wejangannya”. Kadang saya ingin mengelus tangan keriputnya, mencium tangan yang sudah berpuluh tahun tak pernah lelah membanting tulang untuk ketiga anaknya. Tangan yang selalu mengelus saya, anak perempuan sulungnya, ketika saya marah, sedih ataupun gembira.

Yang ingin saya lakukan saat ini adalah memeluknya dan berbisik “Bapak, mungkin permintaan maaf tak akan pernah cukup saya ucapkan untuk menebus segala kesalahan saya. Maaf sudah sering berkata kasar, maaf sudah sering membuat bapak bersedih walaupun saya sering tidak peduli. Maaf karena membutuhkan tenaga ekstra untuk mendidik dan membiayai saya. Maaf karena sering berbohong. Maaf untuk segala hal yang belum bisa saya lakukan sampai sekarang yaitu membuat bapak dan ibu bahagia seutuhnya. Bolehkan saya meminta satu permintaan? Saya ingin bapak menjadi wali nikah saya nanti, jika waktunya sudah tiba. Saya ingin bapak dan ibu memberikan nama untuk anak pertama saya. Saya masih membutuhkan bimbingan dan doa bapak ibu sampai kapanpun itu. Jadi tolong, jaga kesehatan bapak dan ibu ya, supaya bisa melihat saya tampil cantik memakai baju pengantin nanti. Saya selalu berdo’a dari jauh agar saya masih diberikan kesempatan untuk membuat bapak dan ibu tersenyum bahagia di sisa umur ini. Satu hal yang bapak perlu tahu, saya sangat menyayangi bapak sama halnya saya menyayangi ibu. Mungkin cara saya salah untuk menunjukkannya. Apapun itu, saya sangat mencintai bapak dan ibu”

Dan saat ini, saya benar – benar ingin ada di rumah, bertemu dengan bapak, bersujud di kakinya dan mengucapkan semua itu. Sebelum semuanya terlambat.

-Jakarta, 22 April 2010. siang bolong di kamar kos-


This entry was posted on 9:01 PM and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

2 komentar:

    Anonymous said...

    bersyukurlah deni masih bisa merasakan kasih sayangnya.tulisanmu bener2 membuatku menangis dan semakin ingin cepet pulang surabaya. meski hanya bisa mendoakan di makamnya.(vera)

  1. ... on May 11, 2010 at 3:34 PM  
  2. Deny Lestiyorini said...

    Iya Ver...aku selalu bersyukur karena kedua orangtuaku masih ada mendampingi...semoga bapak ibumu mendapatkan tempat yang baik disisiNya ya

  3. ... on June 2, 2010 at 8:39 AM